Tuhan, mengingat segala
Yang telah terjadi dalam hidupku
Membuatku menyadari betapa baiknya Engkau
Mujizat demi mujizat telah terjadi dalam hidupku
Mengingat semua yang telah Kau buat dalam hidupku
Tanpa kusadari air mata mulai mengalir di pipiku.
Dengan apa harus kubalas kasih-Mu yang begitu besar?
Hanya satu yang bisa ku lakukan, memberikan hidupku
Menjadi milikMu, menjadi saksi bagi kemuliaan namaMu.
Aku selalu terharu membayangkan kasihMu
Yang begitu menakjubkan padaku....
Tuhan Yesus, Engkaulah yang terbaik dalam hidupku.
Hi! my name is Margie Amelia. You may call me Amel. Maybe I'm different to normal girls, I was born with cerebral palsy. but I know God is so good to me. I love sing, read and I really love write... I love Jesus Christ and as long as I live I will praise and serve Him.. Happy reading all. ... ^ _ ~ God bless you all readers. Psalms 139:14 (KJV) “I will praise thee; for I am fearfully and wonderfully made: marvellous are thy works; and that my soul knoweth right well.”
27 Apr 2014
17 Apr 2014
Kemenangan Akhir Bab 14 PARA PEMBAHARU INGGERIS YANG MUNCUL KEMUDIAN
Sementara
Luther telah membuka Alkitab yang tertutup bagi orang Jerman, Tyndale telah
didorong oleh Roh Allah untuk melakukan hal yang sama bagi orang Inggeris.
Alkitab Wycliffe telah diterjemahkan dari bahasa Latin, yang berisi banyak
kesalahan. Buku itu tidak pernah dicetak, dan harga naskah-naskahnya sangat
mahal, sehingga hanya sedikit orang-orang kaya atau bangsawan yang dapat
memilikinya. Lebih jauh, sirkulasi peredarannya terbatas, karena dilarang oleh
gereja. Pada tahun 1516, setahun sebelum munculnya tesis Luther, Erasmus telah
menerbitkan Perjanjian Baru edisi Yunani dan Latin. Sekarang untuk pertama
alinya firman Allah dicetak dalam bahasa aslinya Dalam cetakan ini
kesalahan-kesalahan yang banyak terdapat pada versi-versi sebelumnya
diperbaiki, dan artinya lebih diperjelas. Buku ini menuntun golongan kaum
terpelajar untuk mengetahui kebenaran itu lebih baik, dan memberikan dorongan
baru bagi pekerjaan pembaharuan. Tetapi orang-orang biasa masih terhalang dari
firman Allah. Tyndale meneruskan usaha Wycliffe untuk memberikan Alkitab kepada
bangsanya.
Sebagi
seorang mahasiswa dan pencari kebenaran yang sungguh-sungguh, ia telah menerima
Injil dari buku Perjanjian Baru bahasa Jerman, terjemahan Erasmus. Ia
mengkhotbahkan keyakinannya tanpa takut, dan mengajak agar semua doktrin diuji
dengan Alkitab. Terhadap tuntutan pengikut paus yang mengatakatn bahwa gereja
telah memberikan Alkitab dan gereja sendirilah yang boleh menerangkannya,
Tyndale memberikan tanggapannya, "Tahukah kamu siapa yang mengajar burung
elang menemukan mangsanya? Ya, Allah yang sama mengajar anak-anak-Nya yang
lapar untuk menemukan Bapa mereka di dalam Firman-Nya. Alkitab tidak pernah
diberikan kepada kami, bahkan kamu sendirilah yang telah menyembunyikan Alkitab
itu dari kami. Kamulah yang membakar mereka yang mengajarkannya, dan kalau kamu
dapat, kamu akan membakar Alkitab itu sendiri." -- D'Aubigne, b. 18, ch.
4.
Penajaran
Tyndale membangkitkan minat besar orang-orang. Banyak yang menerima kebenaran.
Tetapi imam-imam berjaga-jaga. Segera setelah Tyndale meninggalkan tempat itu,
mereka berusaha memusnahkan pekerjaan itu dengan ancaman-ancaman dan
tafsiran-tafsiran yang salah. Sering-sering mereka berhasil. "Apakah yang
harus dilakukan?" serunya. "Sementara saya menabur di suatu tempat, musuh-musuh
merusakkan ladang-ladang yang baru saja saya tinggalkan. Saya tidak bisa berada
dimana-mana. Oh, jika seandainya orang-orang Kristen memiliki Alkitab dalam
bahasanya sendiri, mereka akan dapat bertahan terhadap pemutar-balikan ini.
Tanpa Alkitab tidak mungkin memantapkan anggota awam dalam kebenaran." --
Idem, b. 6, ch. 4.
Sekarang
ia mempunyai gagasan baru dalam pikirannya. "Nyanyian mazmur dinyanyikan
di kaabah Yehovah dalam bahasa Israel", katanya. "Bukankah seharusnya
kabar Injil itu disampaikan dalam bahasa Inggeris di lingkungan kita sendiri? .
. . Haruskah gereja mempunyai terang yang kurang di tengah hari daripada waktu
fajar? . . . Orang-orang Kisten harus membaca Alkitab Perjanjian Baru dalam
bahasa mereka sendiri." Para doktor dan guru gereja saling tidak setuju.
Hanya oleh Alktab orang-orang sampai kepada kebenaran. "Seorang berpegang
kepada doktor ini, yang lain kepada yang itu . . . . Sekarang masing-masing
pengarang saling bertentangan. Jadi, bgaimanakah kita bisa membedakan dia yang
mengatakan benar dari dia yang mengatakan salah? . . . Bagaimana? . . .
Sesungguhnya hanya oleh firman Allah." -- Idem, b. 18, ch. 4.
Tidak
lama sesudah itu seorang doktor Katolik yang terlibat suatu pertentangan dengan
Tyndale, berseru, "Lebih baik kita tanpa hukum Allah daripada tanpa hukum
paus." Tyndale menjawab, "Saya menentang paus dan semua
hukum-hukumnya. Dan jikalau Allah memelihara hidupku, dalam beberapa tahun saya
akan membuat seorang anak yang kerjanya membajak mengerti lebih banyak Alkitab
daripada kamu." -- Anderson, "Annals of English Bible," p. 19,
(rev. ed. 1862).
Tujuan
untuk memberikan Perjanjian Baru kepada rakyat dalam bahasa mereka sendiri,
sekarang sudah dipastikan. Ia segera bekerja. Ia pergi ke London, karena diusir
oleh penganiayaan dari musuh-musuhnya. Dan di sini untuk sementara ia melakukan
tugasnya tanpa gangguan. Tetapi sekali lagi, kekuasaan para pengikut paus
memaksanya melarikan diri. Kelihatannya seluruh Inggeris tertutup baginya. Ia
memutuskan untuk mencari perlindungan di Jerman. Di sini ia mulai mencetak
Alkitab Perjanjian Baru bahasa Inggeris. Dua kali pekerjaan itu dihentikan.
Tetapi bilamana dilarang mencetak di suatu kota, ia pergi ke kota lain.
Akhirnya ia pergi ke Worms, dimana beberapa tahun sebelumnya, Luther mempertahankan
kabar Injil dihadapan Mahkamah (Diet). Dalam kota lama ini banyak
sahabat-sahabat Pembaharuan, dan di sini Tyndale meneruskan pekerjaannya tanpa
hambatatan lebih jauh. Tiga ribu buah Alkitab Perjanjian Baru segera
diselesaikan, dan edisi lain menyusul pada tahun itu juga.
Dengan
kesungguh-sungguhan yang besar dan kesabaran, ia meneruskan pekerjaannya.
Walaupun penguasa Inggeris telah mengawasi pelabuhan-pelabuhannya dengan ketat,
firman Allah dikirimkan ke London dengan berbagai cara rahasia dan disebarkan
di seluruh negeri. Para pengikut paus berusaha menindas kebenaran itu, tetapi
sia-sia saja. Uskup dari Durham pada suatu waktu membeli seluruh Alkitab dari
seorang penjual buku, yang adalah teman Tyndale, dengan maksud untuk
membinasakan Alkitab tersebut. Dengan demikian ia mengira dapat menghalangi
pekerjaan penyebaran kebenaran itu. Tetapi sebaliknya, uang yang diperoleh
digunakan untuk membeli bahan untuk mencetak edisi baru dan yang lebih baik,
yang tanpa uang itu tak mungkin bisa diterbitkan. Pada waktu kemudian Tyndale
ditahan, ia boleh dibebaskan dengan satu syarat bahwa ia harus memberitahukan
nama-nama orang yang telah menolongnya membiayai pencetakan Alkitabnya. Ia
mengatakan bahwa uskup dari Durham telah membantu melebihi dari orang-orang
lain, karena dengan membeli seluruh stok buku-buku yang tersisa telah
menyanggupkannya meneruskan pencetakan itu.
Tyndale
dikhianati dan diserahkan ke tangan musuh-musuhnya, dan pada suatu ketika
dipenjarakan selama delapan bulan. Akhirnya ia menyaksikan imannya dengan mati
syahid. Tetapi senjata yang telah disediakannya telah menyanggupkan para
pejuang lain meneruskan perjuangan sepanjang abad-abad berikutnya, bahkan
sampai ke zaman kita.
Latimer
mempertahankan dari mimbar bahwa Alkitab harus dapat dibaca orang-orang dalam
bahasanya sendiri. "Pengarang Alkitab yang suci itu," katanya,
"adalah Allah sendiri," dan Alkitab itu memiliki kuasa dan keabadian
Pengarangnya. "Semua raja, kaisar, hakim dan penguasa . . . harus menuruti
. . . firman-Nya yang kudus." Janganlah kita menyimpang, biarlah firman
Allah menuntun kita. Janganlah kita mengikuti . . . nenek moyang kita, atau
melakukan apa yang telah mereka lakukan, tetapi melakukan apa yang seharusnya
mereka lakukan." -- Latimer, "First Sermon Preached before King
Edward VI." (ed. Parker Sciety).
Barnes
dan Frith sahabat-sahabat setia Tyndale, bangkit mempertahankan kebenaran.
Diikuti oleh keluarga Ridley dan Cranmer. Pemimpin-peimpin Pembaharuan Inggeris
ini adalah orang-orang terpelajar, dan kebanyakan mereka sangat dihormati oleh
karena semangat dan kesalehan mereka dalam persekutuan Romawi. Mereka menentang
kepausan oleh karena mengetahui kesalahan-kesalahan "bapa suci," Sri
Paus. Pengetahuan mereka mengenai rahasia-rahasia Baylon memberikan kuasa yang
lebih besar kepada kesaksian mereka menentangnya.
"Sekarang
saya mau menanyakan pertanyaan aneh," kata Latimer. "Siapakah uskup
dan pejabat tinggi gereja yang paling rajin di Inggeris? . . . Saya melihat
Anda mendengarkan dan memperhatikan, mengharapkan saya menyebutkan namanya, . .
. Saya akan katakan kepadamu, dia adalah Setan. . . . Ia tidak pernah keluar
dari daerah keuskupannya; . . . panggillah dia bilamana engkau mau, ia selalu
ada di rumah; . . . ia selalu membajak, . . . Engkau tidak akan pernah melihat
dia bermalas-malas, saya jamin . . . . Dimana Setan itu tinggal, . . . di sana
buku-buku disingkirkan dan lilin-lilin dinyalakan. Alkitab disingkirkan, dan
tasbih atau manik-manik dihitung. Terang kabar Injil disingkirkan, dan
lilin-lilin dinyalakan, ya, pada tengah hari; . . . salib Kristus dirubuhkan,
dan dompet api penyucian ditinggikan. Tidak perlu memberi pakaian kepada orang
yang bertelanjang, orang yang miskin dan yang lemah, tetapi mendirikan
patung-patung dan menghiasi gemerlapan kaus kaki dengan batu-batu berharga.
Meninggikan tradisi-tradisi mausia dan hukum-hukumnya. Tetapi merendahkan
tradisi Allah dan firman-Nya yang Mahakudus. . . . Oh, kalau saja
pejabat-pejabat tinggi gereja kita menaburkan bibit doktrin yang baik serajin
Setan menaburkan kerang dan lalang!" -- Latimer, "Sermon of the
Plough,"
Prinsip
agung yang dipertahankan oleh para Pembaharu ini ialah wewenang Alkitab yang
tidak bisa salah sebagai ukuran iman dan perbuatan, sebagaimana yang juga
dipegang oleh orang-orang Waldenses, oleh Wycliffe, John Huss, Luther, Zwingle
dan orangoranga yang bergabung dengan mereka. Mereka menolak hak paus, konsili,
Paters, dan raja-raja, untuk mengendalikan hati nurani dalam masalah-masalah
agama. Alkitab adalah otoritas mereka, dan dengan pengajarannya mereka menguji
semua doktrin dan tuntutan. Percaya pada Allah dan firman-Nya memelihara
orang-orang saleh ini pada waktu mereka menyerahkan hidup mereka di tiang
pembakaran. 'Terhiburlah," seru Latimer kepada rekan-rekan syuhadanya
sementara api sudah hampir membungkan suara mereka, "karena pada hari ini
kita menyalakan lilin di Inggeris, oleh kasih karunia Allah yang saya yakin
tidak akan pernah bisa dipadamkan." -- "Works of Hugh Latimer,"
Vol. I, p. xiii (ed. Parker Society).
Dis
Scotlandia bibit kebenaran yang ditaburkan oleh Columba dan rekan sekerjanya
tidak pernah seluruhnya dibinasakan. Ratusan tahun sesudah gereja-gereja
Inggeris menyerah kepada kekuasaan Roma, gereja-gereja di Scotlandia tetap
mempertahankan kemerdekaan. Namun, pada abad ke dua belas, kepausan berdiri
disini, dan menjalankan kekuasaan sewenang-wenang yang lebih dibandingkan di
negara-negara lain. Dimana-mana keadaan semakin gelap. Tetapi masih ada
seberkas sinar terang yang menembusi kekelaman, yang menjanjikan fajar yang akan
menyingsing. Keluarga Lollards yang datang dari Inggeris dengan Alkitab dan
ajaran-ajaran Wycliffe, berbuat banyak untuk memelihara pengetahuan akan kabar
Injil. Dan pada setiap zaman mempunyai para saksinya dan para syuhadanya.
Dengan
dimulainya Pembaharuan Besar, datanglah tulisan-tulisan Luther dan Alkitab
Perjanjian Baru bahasa Inggeris Tyndale. Tanpa disadari oleh hirarki,
jurukabar-jurukabar ini menjelajahi bukit-bukit dan lembah-lembah, menyalakan
kembali obor kebenaran yang hampir padam di Skotlandia, dan meruntuhkan
pekerjaan yang telah dilakukan oleh Roma selama empat abad penindasan.
Kemudin
darah para syuhada itu memberikan dorongan segar kepada pergerakan. Para
pemimpin pengikut kepausan, tiba-tiba bangkit karena menyadari bahaya yang
mengancam kepentingan mereka, dan membawa ke tiang pembakaran putra-putra
terbaik dan terhormat Skotlandia. Mereka mendirikan mimbar, dari mana kata-kata
perpisahan para saksi yang mau mati ini diperdengarkan ke seluruh megeri,
menggetarkan jiwa orang-orang dengan tujuan yang tidak pernah mati untuk
melepaskan belenggu Roma.
Hamilton
dan Wishart, yang mempunyai tabiat dan kelahiran bangsawan, dengan barisan
panjang murid-murid yang lebih sederhana, menyerahkan hidup mereka di tiang
pembakaran. Tetapi dari api yang berkobar-kobar membakar Wishart muncul seorang
yang tidak bisa didiamkan oleh nyala api, seorang yang dengan pertolongan Allah
memukul lonceng kematian kepausan di Skotlandia.
John
Knox telah beralih dari tradisi dan ketakhyulan gereja dan mengecap kebenaran
firmn Allah. Dan ajaran Wishart telah memastikan keputusannya untuk memutuskan
persekutuannya dengan Roma, dan menggabungkan diri dengan para Pembaharu yang
dianiaya itu.
Ia
dibujuk oleh sahabat-sahabatnya untuk menjadi seorang pengkhotbah, tetapi ia
menolak dengan takut, mengingat akan tanggungjawabnya. Hanya setelah menyendiri
beberapa hari dan bergumul keras dengan dirinya sendiri ia akhirnya setuju.
Tetapi sekali ia menerima jabatan itu, ia maju terus dengan tekad yang tidak
goyah dan keberanian yang tidak gentar sepanjang umur hidupnya. Pembaharu yang
berhati jujur ini tidak takut kepada manusia. Api mati syahid yang berkobar
disekitarnya hanya untuk membangkitkan semangatnya untuk bekerja dengan lebih
intensif. Dengan kampak kelaliman mengancam di atas kepalanya, ia berdiri teguh
memukul dengan kuat ke kiri dan ke kanan untuk menghancurkan penyembahan
berhala.
Ketika
ia dibawa berhadapan muka dengan muka dengan ratu Skotlandia, John Knox
memberikan kesaksian mengenai kebenaran dengan gagah berani. Di hadapan ratu
Skotlandia banyaklah pemimpin Protestan yang kalah semangat. Ia tidak bisa
dimenangkan dengan bujuk rayu, ia tidak takut ancaman-ancaman. Ratu menuduhnya
dengan tuduhan bida'ah. Ia telah mengajar orang-orang menerima agama yang
dilarang oleh negara, kata ratu, dan dengan demikian melanggar perintah Allah
yang menyuruh rakyat menuruti raja. Knox menjawab dengan tegas,
"Oleh
karena agama yang benar tidak mendapatkan kekuatan azasinya atau wewenangnya
dari raja-raja dunia, tetapi hanya dari Allah yang kekal, maka rakyat tidak
terikat untuk menjalankan agamanya sesuai dengan selera raja mereka. Karena
sering bahwa rajalah yang paling bodoh dari semua orang mengenai agama Allah
yang benar . . . . Jika semua benih Abraham menuruti agama Firaun, yang telah
lama memerintah mereka, saya memohon, Sri Ratu, agama apakah yang akan ada di
atas dunia ini? Atau jikalau semua manusia pada zaman rasul-rasul menuruti
agama kaisar-kaisar Roma, agama apakah yang akan terdapat di muka bumi ini? . .
. Jadi, Sri Ratu dapat melihat, bahwa rakyat tidak terikat kepada agama
raja-raja mereka, walaupun mereka diperintahkan untuk menuruti raja-raja
mereka."
Ratu
Mary berkata, "Engkau menafsirkan Alkitab itu dalam satu cara, dan mereka
[guru-guru Katolik Roma] menafsirkannya dengan cara yang lain, siapakah yang
saya harus percaya, dan siapakah yang menjadi hakim?"
"Sri
Ratu harus percaya kepada Allah, yang berbicara dengan jelas di dalam
firman-Nya," jawab Pembaharu itu, "dan lebih jauh dari pada yang
diajarkan oleh Firman itu kepadamu, engkau tidak boleh mempercayai baik yang
satu maupun yang lainnya. Firman Allah itu sendiri cukup jelas, dan jikalau ada
muncul yang tidak jelas di suatu tempat, Roh Suci, yang tidak pernah
bertentangan dengan Allah, menerangkan dengan lebih jelas di tempat lain,
sehingga tidak ada lagi keragu-raguan, kecuali kepada mereka yang keras kepala
tetap tidak mau perduli." -- Laing, "Works of John Knox," Vol.
II, pp. 281, 284 (ed. 1895).
Itulah
kebenaran yang dikatakan oleh Pembaharu yang berani itu, ke telinga keluarga
kerajaan, pada saat bahaya mengancam hidupnya. Dengan keberanian yang tidak
mengenal gentar seperti itu ia tetap pada maksudnya, berdoa dan berjuang dalam
peperangan Tuhan, sampai Skotlandia bebas dari kepausan.
Di
Inggeris penetapan Protestantisme sebagai agama nasional, mengurangi
penganiayaan, tetapi tidak seluruhnya berhenti. Walaupun banyak doktrin Roma
yang telah ditinggalkan, tetapi tidak sedikit yang masih terus dipertahankan.
Supremasi paus ditolak, tetapi sebagai gantinya raja dinobatkan sebagai kepala
gereja. Dalam upacara gereja masih terdapat penyimpangan dari kemurnian
kesederhanaan Injil. Prinsip utama kebebasan beragama belum dimengerti.
Walaupun kekejaman yang mengerikan yang dilakukan oleh Roma kepada para bida'ah
tidak dilakukan atau jarang dilakukan oleh penguasa-penguasa Protestan, namun
hak setiap orang untuk menyembah Allah sesuai dengan bisikan hati nuraninya
belum sepenuhnya diakui. Semuanya diharuskan menerima doktrin-doktrin dan
melakukan bentuk-bentuk perbaktian yang ditetapkan oleh gereja yang sudah ada.
Orang yang tidak setuju menderita penganiayaan, sedikit banyaknya, selama
ratusan tahun.
Pada
abad ke tujuh belas, ribuan orang pendeta dipecat dari jabatan mereka.
Orang-orang dilarang menghadiri sesuatu perkumpulan agama kecuali yang sudah
ditentukan oleh gereja. Pelanggaran kepada ketentuan itu diancam dengan denda
yang berat, hukuman penjara dan pembuangan. Jiwa-jiwa yang setia, yang tidak
bisa berhenti berkumpul berbakti kepada Allah, terpaksa bertemu di gang-gang
sempit yang gelap, di loteng-loteng yang tersembunyi, dan pada musim-musim
tertentu, di hutan pada waktu tengah malam. Di tempat perlindungan di hutan
lebat, kaabah Allah yang didirikan-Nya sediri, anak-anak Tuhan yang tercerai
berai dan dianaiaya itu berkumpul untuk mencurahkan isi jiwa mereka di dalam
doa dan puji-pujian. Tetapi sekalipun mereka waspada dan berjaga-jaga, banyak
juga yang menderita karena iman mereka. Kamar-kamar penjara penuh sesak.
Keluarga-keluaga terpecah-pecah. Banyak yang diasingkan ke negeri asing. Namun,
Allah menyertai umat-Nya, dan penganiayaan tidak akan berhasil mendiamkan
kesaksian mereka. Banyak yang diusir menyeberangi laut ke Amerika. Dan di sini
diletakkanlah dasar kebebasan sipil dan kebebasan beragama, yang telah menjadi
benteng dan kemuliaan negeri ini.
Sekali
lagi, sebagaimana pada zaman rasul-rasul, penganiayaan berubah menjadi kemajuan
dan peningkatan kabar Injil. Dalam sebuah penjara bawah yang sangat
menjijikkan, yang dipenuhi oleh orang-orang yang tidak bermoral dan penjahat,
John Bunyan bernafaskan suasana Surga. Di sana ia menulis cerita kiasannya yang
ajaib mengenai perjalanan para musafir dari tanah kebinasaan ke kota Surgawi
yang mulia. Selama lebih dari dua ratus tahun suara dari penjara Bedford itu
telah berbicara dengan kuasa yang luar biasa kepada hati orang-orang. Buku
Bunyan, "Pilgrim's Progress" dan "Grace Abounding to the Chief
of Sinners" telah menuntun langkah banyak orang kepada jalan kehidupan.
Baxter,
Flavel, Alleine, dan orang-orang berbakat lainnya, yang berpendidikn dan
mempunyai pengalaman Kristen yang mendalam, berdiri teguh untuk mempertahankan
iman yang pernah disampaikan kepada orang-orang kudus. Pekerjaan yang dicapai
orang-orang ini, meskipun dilarang dan diharamkan oleh penguasa-penguasa dunia,
tidak pernah binasa. Buku tulisan Flavel, "Fountain of Life," dan
"Method of Grace" telah mengajar ribuan orang bagaimana
mempertahankan pemeliharaan jiwa mereka kepada Kristus. Buku karangan Baxter,
"Reformed Pastor" telah terbukti menjadi berkat bagi banyak orang
yang rindu kepada kebangunan pekerjaan Allah, dan bukunya, "Saint's
Everlasting Rest" telah menuntun jiwa-jiwa kepada "perhentian yang
menanti umat Allah."
Seratus
tahun kemudian pada hari kegelapan rohani yang besar, Whitefield dan Wesley
bersaudara muncul sebagai pembawa-pembawa terang bagi Allah. Di bawah
pemerintahan gereja yang sudah berdiri, rakyat Inggeris telah kembali kepada
keadaan kemunduran keagamaan yang sulit dibedakan dari kekafiran. Agama alamiah
adalah pelajaran yang paling disukai oleh para ulama, dan dimasukkan menjadi
bagian terbesar dari teologia mereka. Golongan-golongan masyarakat yang lebih
tinggi mencemoohkan kesalehan, dan meyombongkan diri berada di atas apa yang
dinamakan kefanatikan. Golongan-golongan yang lebih rendah kebanyakan bersikap
masa bodoh dan menyerah kepada kejahatan, sementara gereja tidak lagi mempunyai
keberanian atau keyakinan untuk mendukung kepentingan kebenaran yang telah
jatuh itu.
Doktrin
agung pembenaran oleh iman, yang begitu jelas diajarkan oleh Luther, sudah
hampir seluruhnya tidak tampak lagi, dan prinsip Romawi yang mempercayai
pekerjaan-pekerjaan baik untuk keselmatan sudah menggantikannya. Whitefield dan
Keluarga Wesley, yang menjadi anggota gereja yang sudah berdiri, adalah
orang-orang yang sungguh-sungguh mencari kehendak Allah. Dan seperti yang
diajarkan kepada mereka, harus diperoleh melalui kehidupan yang saleh dan
penurutan kepada peraturan-peraturan agama.
Bilamana
Charles Wesley, pada suatu waktu jatuh sakit, dan diperkirakan akan meninggal,
ia ditanya di atas dasar apa pengharapan hidup kekalnya diletakkan. Jawabnya
ialah, "Saya telah berusaha sebaik-baiknya melayani Allah." Oleh
karena teman yang menanyakan pertanyaan itu tampaknya tidak puas, Wesley
berpikir, "Apa! apakah usaha saya itu bukan suatu landasan pengaharapn
yang cukup? Apakah usaha saya itu sia-sia? Tak ada lagi yang saya
percayai." -- Whitehead, John, "Life of the Rev. Charles
Wesley," p. 102 (2d Am. ed. 1845). Demikianlah kegelapan pekat yang telah
menutupi gereja, yang menyembunyikan penyucian, merampok Kristus dari
kemulian-Nya, mengalihkan pikiran manusia dari pengharapan keselamatan
satu-satunya, -- darah Penebus yang telah disalibka itu.
Wesley
dan rekan-rekannya telah dituntun untuk melihat bahwa agama yang benar ada di
dalam hati, dan bahwa hukum Allah mencakup pikiran serta perkataan dan
tindakan. Setelah diyakinkan oleh perlunya kesucian hati serta tepatnya tingkah
laku luar, mereka bertekad menghidupkan suatu hidup baru. Dengan usaha dan doa
yang tekun mereka berusaha menundukkan kejahatan hati alamiah. Mereka
menghidupkan suatu kehidupan penyangkalan diri, kedermawanan dan kerendahan
hati, menuruti dengan seksama setiap peraturan yang mereka anggap dapat
menolong mereka untuk memperoleh apa yang paling mereka rindukan, yaitu
kesucian, yang berkenan kepada Allah. Namun, sia-sia usaha mereka untuk
membebaskan mereka dari hukuman dosa atau menghancurkan kuasa dosa itu.
Pergumulan yang sama seperti itulah yang dialami Luther di selnya di Erfurt.
Pertanyaan yang sama itulah yang telah menyiksa jiwanya -- "Masakan
manusia benar dihadapan Allah" ( Ayub 9:2).
Api
kebenaran ilahi yang hampir padam di atas mezbah Protestantisme, akan
dinyalakan kembali dari obor terdahulu yang diteruskan sepanjang zaman oleh
orang-orang Kristen Bohemia. Sesudah Pembaharuan, Prostestantisme di Bohemia
telah diinjak-injak oleh sekelompok orang-orang Roma. Semua orang yang menolak
meninggalkan kebenaran dipaksa untuk melarikan diri. Beberapa dari mereka
mendapat perlindungan di Saxony, dimana mereka meneruskan memelihara imannya
yang dahulu itu. Dari keturunan orang-orang Kristen inilah terang kebenaran
datang kepada Wesley dan rekan-rekannya.
John
dan Charles Wesley, setelah diurapi kepada kependetaan, telah dikirim dalam
sebuah misi ke Amerika. Di dalam kapal ada serombongan orang-orang Moravia.
Dalam pelayaran itu mereka dipukul oleh angin topan, dan John Wesley, yang
berhadapan muka dengan muka dengan kematian, merasa bahwa ia tidak mempunyai
jaminan kedamaian dengan Allah. Orang-orang Jerman itu -- orang-orang Moravia
-- sebaliknya menunjukkan ketenangan dan pengharapan, yang bagi Wesley hal itu
masih asing.
"Sudah
sejak lama," katanya, "saya memperhatikan kesungguh-sungguhan tabiat
mereka. Mereka telah membuktikan secara terus menerus kerendahan hati mereka
oleh melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada penumpang-penumpang lainnya,
yang tak seorang orang Inggerispun akan mau melakukannya. Untuk pelayanan ini
mereka tidak menerima pembayaran. Mereka mengatakan adalah baik bagi hati
mereka yang sombong, dan bagi Juru Selamat yang telah berbuat lebih banyak bagi
mereka. Dan setiap hari ada saja kesempatan untuk menunjukkan kelemah-lembutan
dan kesabaran mereka, yang tidak bisa dipengaruhi oleh sesuatu gangguan. Jika
mereka terdorong, terpukul atau terpelanting, mereka bangkit kembali dan pergi
berlalu. Tidak ada keluhan dari mulut mereka. Sekarang ada kesempatan untuk
mencobai apakah mereka telah terlepas dari ketakutan serta kesombongan, angkara
murka dan balas dendam. Di tengah-tengah suasana menyanyikan lagu pujian pada
awal acara dimulai, lautan kembali bergelora, merobek layar utama dan menutupi
kapal. Air tercurah ke atas geladak kapal seolah-olah lautan yang dalam telah
menelan kami semua. Jeritan yang mengerikan terdengar dari antara orang-orang
Inggeris. Orang-orang Jerman dengan tenang terus menyanyi. Setelah kejadian itu
saya bertanya kepada seorang dari mereka, 'Apakah engkau tidak takut?' Ia
menjawab, 'Terimakasih kepada Tuhan, tidak.' Saya bertanya lebih lanjut,
'Tetapi, apakah wanita-wanita dan anak-anakmu takut?' Ia menjawab dengan
lembut, 'Tidak. Wanita-wanita dan anak-anak kami tidak takut mati.'" --
Whitehead, "Life of the Rev. John Wesley," p. 10 (Am. ed. 1845).
Setelah
tiba di Savannah, Wesley untuk sementara tinggal bersama orang-orang Moravia
itu, dan sangat terkesan dengan tingkah laku Kristen mereka. Mengenai salah
satu upacara keagamaan mereka, yang sangat bertentangan dengan formalitas yang
tidak hidup Gereja Inggeris, ia menulis, "Kesederhanaan dan kekhidmatan
semuanya hampir membuat saya lupa bahwa 1700 tahun sudah berlalu, dan
membayangkan diri saya dalam salah satu perkumpulan dimana tidak ada formalitas
dan rumusan. Tetapi Rasul Paulus, pembuat tenda, atau Rasul Petrus, si nelayan,
yang memimpin acara; namun dengan peragaan Roh dan kuasa." -- Idem, pp.
11-12.
Pada
waktu ia kembali ke Inggeris, atas petunjuk seorang pengkhotbah Moravia, Wesley
tiba pada suatu pengertian yang lebih jelas mengenai iman Alkitab. Ia yakin
bahwa ia harus membuangkan semua ketergantungannya kepada perbuatannya untuk
memperoleh keselamatan, dan harus percaya sepenuhnya kepada "Anak Domba
Allah yang mengangkut dosa isi dunia ini." Pada suatu pertemuan masyarakat
Moravia di London, suatu pernyataan dari Luther dibacakan, yang menjelaskan
suatu perubahan yang dikerjakan oleh Roh Allah di dalam hati orang-orang
percaya. Pada waktu Wesley mendengarkan, iman mulai terbit di dalam jiwanya.
"Aku merasakan hatiku dihangatkan secara aneh," katanya. "Aku
merasakan saya percaya pada Kristus, Kristus satu-satunya jalan keselamatan.
Dan kepastian telah diberikan kepada saya bahwa Ia telah membuangkan
dosa-dosaku, ya, dosaku sendiri, dan menyelamatkanku dari hukum dosa dan
kematian." -- Whitehead, "Life of John Wesley," p. 52.
Melalui
tahun-tahun yang panjang pekerjaan yang melelahkan dan membosankan, --
tahun-tahun penyangkalan diri yang keras, teguran dan celaan, -- Wesley berpegang
teguh kepada tujuannya mencari Allah. Sekarang ia telah menemukan-Nya, dan ia
telah menemukan bahwa anugerah yang ia telah perjuangkan untuk dimenangkan oleh
berdoa dan berpuasa, oleh perbuatan-perbuatan baik dan pengorbanan diri
sendiri, adalah suatu karunia, "tanpa uang, tanpa harga."
Sekali
diteguhkan dalam iman kepada Kristus, seluruh jiwa dibakar oleh suatu kerinduan
untuk menyebarkan kemana-mana pengetahuan akan kabar Injil Allah yang mulia
tentang karunia cuma-cuma-Nya. "Aku menganggap seluruh dunia sebagai
daerah parokiku," katanya, "dengan demikian di bagian manapun di
dunia ini saya berada, aku menganggapnya baik dan benar, dan adalah tugas
kewajibanku untuk menyatakan kabar kesukaan keselamatan kepada semua orang yang
mau mendengarkan." -- Idem, p. 74.
Ia
melanjutkan kehidupannya yang ketat dan penuh penyangkalan diri, sekarang bukan
sebagai landasan, tetapi sebagai akibat dari iman. Bukan sebagai akar, tetapi
sebagai buah dari kesalehan. Kasih karunia Allah di dalam Kristus adalah dasar
pengharapan orang Kristen, dan bahwa kasih karunia itu akan dinyatakan di dalam
penurutan. Kehidupan Wesley dibaktikan kepada pemberitaan berita kebenaran yang
besar yang telah diterimanya, yaitu pembenaran oleh iman di dalam darah Kristus
yang menyucikan itu, dan kuasa yang memperbaharui hati dari Roh Kudus, yang
akan menghasilkan buah dalam hidup yang sesuai dengan teladan Kristus.
Whitefield
dan Wesley bersudara, telah dipersiapkan bagi pekerjaan mereka oleh keyakinan
pribadi yang lama dan tepat mengenai keadaan mereka yang hilang. Dan agar
mereka sanggup menanggung kesukaran sebagai laskar Kristus, mereka telah
dihadapkan kepada cobaan-cobaan gencar cemoohan, olok-olokan dan penganiayaan,
baik waktu di universitas maupun waktu mereka memasuki pelayanan kependetaan.
Mereka dan beberpa orang lain yang bersimpati dengan mereka dituduh dengan
panggilan Metodis oleh rekan-rekannya mahasiswa yang tidak percaya pada Tuhan,
-- suatu nama yang dewasa ini dianggap sebagai kehormatan oleh salah satu
denominasi terbesar di Inggeris dan Amerika.
Sebagai
anggota Gereja Inggeris, mereka dengan kuat terikat kepada bentuk-bentuk
perbaktian, tetapi Tuhan telah memberikan kepada mereka di dalam firman-Nya
suatu standar yang lebih tinggi. Roh Suci mendorong mereka untuk mengkhotbahkan
Kristus, Dia yang disalibkan itu. Kuasa Yang Mahatinggi menolong mereka dalam
pekerjaan mereka. Ribuan orang diyakinkan dan benar-benar ditobatkan. Adalah
perlu agar kawanan domba-domba ini dilindungi dari serigala-serigala buas yang
kelaparan. Wesley tidak berpikir untuk membentuk organisasi agama baru, tetapi
ia mengorganisasikan mereka kedalam apa yang dinamakan Methodist Connection
atau Persekutuan Metodis.
Para
pengkhotbah ini mendapat pertentangan keras dan misterius dari gereja yang
sudah ada. Namun, Allah di dalam hikmat-Nya telah mengatasi segala
kejadian-kejadian itu sehingga menyebabkan mulainya pembaharuan di dalam gereja
itu sendiri. Seandainya pembaharuan itu seluruhnya datang dari luar gereja,
maka tidak akan mampu menembus masuk ke dalam, dimana pembaharuan itu sangat
diperlukan. Akan tetapi oleh karena pengkhotbah-pengkhotbah pembaharuan itu
adalah anggota-anggota gereja, yang bekerja di dalam lingkungan gereja bilamana
mereka mendapat kesempatan, maka kebenaran telah dapat masuk sementara pintu
tetap tertutup. Beberapa dari pendeta-pendeta dibangunkan dari tidur moral
mereka dan menjadi pengkhotbah-pengkhotbah yang bersemangat di wilayah paroki
masing-masing. Gereja yang telah mengeras dengan formalisme sekarang
dibangunkan menjadi hidup kembali.
Pada
zaman Wesley, sebagaimana juga pada zaman-zaman sejarah gereja, orang-orang
dengan berbagai karunia melakukan pekerjaan-pekerjaan yang telah ditetapkan
bagi mereka. Mereka tidak mempunyai pandangan yang selaras atas setiap pokok
doktrin, tetapi semuanya digerakkan oleh Roh Allah, dan bersatu dalam satu
tujuan untuk memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus. Perbedaan-perbedaan antara
Whitefield dan Wesley bersaudara pada suatu waktu mengancam terjadinya
kerenggangan, tetapi oleh karena mereka telah belajar kelemah-lembutan dalam
sekolah Kristus, maka mereka tetap berdamai dengan saling berbaik hati serta
sabar dan saling mengendalikan diri. Mereka tidak mempunyai waktu untuk
berselisih dan berdebat-debat, sementara kesalahan dan kejahatan merajalela dimana-mana,
dan orang-orang berdosa sedang mau binasa.
Hamba-hamba
Allah berjalan di jalan yang kasar. Orang-orang yang berpengaruh dan
orang-orang terpelajar menggunakan kuasa menentang mereka. Tidak lama kemudian
banyak pendeta-pendeta yang menunjukkan sikap bermusuhan, dan pintu gereja
tertutup terhadap iman yang murni dan terhadap mereka yang menyiarkannya. Para
pendeta , dalam menolak mereka dari mimbar, membangkitkan unsur-unsur
kegelapan, kebodohan dan kejahatan. Berulang kali John Wesley lolos dari kematian
oleh mujizat kemurahan Allah. Pada waktu massa yang marah mengamuk melawan dia,
dan tampaknya tidak ada lagi jalan untuk meloloskan diri, seorang malaikat
dalam rupa manusia datang ke sampingnya, sehingga massa mundur dan hamba
Kristus luput dari tempat bahaya itu.
Mengenai
kelepasannya dari amukan massa pada salah satu peristiwa itu, Wesley berkata,
"Banyak yang berusaha melemparkan saya kebawah sementara kami turun dari
atas bukit melalui jalan yang licin menuju kota, dengan pertimbangan bahwa sekali
saya terkapar di atas tanah, saya tidak bisa bangkit lagi. Tetapi saya sama
sekali tidak tersandung atau tergelincir sampai saya lepas dari tangan mereka.
. . . Walaupun banyak yang berusaha keras memegang leher baju saya atau pakaian
saya, untuk menjatuhkan saya, mereka sama sekali tidak bisa menahan saya. Hanya
pernah seseorang memegang kuat tutup saku baju rompi saya, yang akhirnya robek
tertinggal ditangannya. Tutup saku lain, saku yang berisi uang kertas, robek
menjadi dua bagian . . . . Seorang yang kuat yang berada di belakangku memukul
saya beberapa kali dengan tongkat kayu ek. Kalau saja dengan tongkat itu ia
memukul belakang kepala saya, maka semuanya sudah beres. Tetapi setiap kali ia
memukul, pukulan itu menyamping, saya tidak tahu bagaimana hal itu bisa
terjadi, karena saya sendiri tidak dapat bergerak ke kiri atau ke kanan . . . .
Yang lain datang tergesa-gesa menerobos massa dan mengangkat tangannya hendak
memukul, lalu tiba-tiba tangannya turun hanya menyentuh kepala saya, lalu ia
berkata, 'Betapa halusnya rambutnya!' . . . Orang yang paling pertama yang
diubahkan hatinya ialah pahlawan-pahlawan kota, pemimpin gerombolan dalam
berbagai kejadian, salah seorang dari antara mereka pernah menjadi petarung
memperebutkan hadiah dengan beruang . . . .
"Dengan
tingkatan kelembutan yang bagaimanakah Allah mempersiapkan kita bagi
kehendak-Nya? Dua tahun yang lalu, sepotong batu bata menggores bahu saya.
Setahun kemudian sebuah batu menghantam wajah saya, di antara kedua mata. Bulan
yang lalu saya menerima sebuah pukulan, dan sore ini dua pukulan, satu pukulan
sebelum kami datang kekota, dan satu lagi sesudah kami pergi dari kota. Tetapi
kedua-duanya tidak apa-apa, karena walaupun seseorang memukul saya di dada
dengan sekuat tenaganya, dan yang lain memukul saya di mulut dengan
sekeras-kerasnya sehingga darah mengucur keluar, saya tidak merasakan sakit
dari pukulan-pukulan itu lebih dari seandainya mereka sentuh saya dengan
sebatang jerami." -- Wesley's Works, Vol. III, pp. 297,298 (ed. 1831).
Orang-orang
Metodis pada zaman itu, baik anggota biasa maupun para pendeta, menanggung
ejekan dan penganiayaan dari anggota-anggota gereja dan orang-orang yang
nyata-nyata tidak beragama yang marah oleh karena kekeliruan mereka. Mereka
dituntut ke pengadilan -- hanya nama saja, sebab keadilan sangat jarang
ditemukan pada zaman itu. Mereka sering mengalami perlakuan kejam dari
penganiaya. Gerombolan massa bergerak dari rumah ke rumah, menghancurkan
perabot dan barang-barang, merampas apa saja yang mereka mau, dan dengan brutal
memperlakukan semena-mena pria, wanita dan anak-anak. Kadang-kadang mereka
menempelkan pengumuman, memanggil mereka yang mau membantu merusak
jendela-jendela dan merampok rumah-rumah orang Metodis, supaya berkumpul pada
waktu dan tempat yang telah ditentukan. Pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan
dan hukum Tuhan yang secara terang-terangan ini telah dibiarkan terjadi tanpa
teguran. Penganiayaan yang sistematis telah dilakukan kepada orang-orang yang
"kesalahannya" adalah mengembalikan langkah-langkah orang berdosa
dari jalan kebinasaan ke jalan kesalehan.
John
Wesley berkata, menanggapi tuduhan yang dilancarkan kepadanya dan
rekan-rekannya, "Sebagian orang menduga bahwa doktrin-doktrin orang-orang
ini adalah palsu, salah dan penuh entusias; bahwa doktrin itu baru dan belum
pernah terdengar sampai baru-baru ini; bahwa doktrin itu adalah Quakerisme,
fanatisisme, kepausan. Semua kepura-puraan ini telah dicabut sampai ke
akar-akarnya, meskipun telah ditunjukkan bahwa setiap cabang doktrin atau ajaran
ini adalah doktrin sederhana Alkitab yang ditafsirkan oleh gereja kita sendiri.
Oleh sebab itu tidak mungkin palsu atau salah, selama Alkitab itu benar."
"Yang lain menduga, 'Ajaran mereka terlalu ketat, sehingga membuat jalan
ke Surga itu terlalu sempit.' Dan inilah sebenarnya yng mereka tolak,
(sebagaimana hampir satu-satunya selama beberapa waktu), dan bukan itu saja,
secara rahasia ada ribuan lagi yang nampak dalam berbagai bentuk. Tetapi apakah
mereka mempersempit jalan ke Surga dari pada yang dilakukan oleh Tuhan kita dan
rasul-rasul-Nya? Apakah doktrin mereka lebih ketat dari pada yang ada dalam
Alkitab? Perhatikanlah hanya beberap ayat saja: 'Kasihilah Tuhan Allahmu dengan
segenap hatimu dan dengan segenap pikiranmu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan
segenap kekuatanmu.' 'Karena setiap perkataan yang sia-sia yang diucapkan oleh
seseorang akan dipertanggungjawabkan pada hari penghakiman.' 'Apakah engkau
makan atau minum, atau apa saja yang engkau perbuat, perbuatlah semuanya itu
untuk kemuliaan Allah.'
"Jikalau
doktrin mereka lebih ketat dari semua ini, mereka patut dipersalahkan. Tetapi
engkau tahu di dalam hati nuranimu tidaklah demikian. Dan siapakah yang dapat
menjadi kurang ketat tanpa menyelewengkan firman Allah? Dapatkah seorang
pelayan rahasia-tahasia Allah didapati setia jikalau ia mengubah sesuatu bagian
dari tulisan kudus itu? Tidak. Ia tidak boleh menghilangkan sesuatupun. Ia
tidak boleh melembutkan sesuatupun. Ia harus menyatakan kepada semua orang,
'Saya tidak dapat menyesuaikan Alkitab menuruti seleramu. Engkau harus
menyesuaikan diri kepadanya, atau engkau akan binasa untuk selama-lamanya.'
Inilah landasan yang sebenarnya adanya seruan mengenai 'kekejaman orang-orang
ini'. Kejam, benarkah mereka begitu? Apakah engkau tidak memberi makan orang
lapar dan memberi pakaian orang yang bertelanjang? 'Tidak, bukan itu
masalahnya. Mereka tidak menghendaki itu, tetapi mereka begitu kejam dalam
pertimbangan. Mereka pikir tak seorangpun bisa selamat kecuali melalui jalan
mereka.' " -- Wesley's Works, Vil. III, pp. 152-153.
Kemerosotan
rohani yang telah nyata di Inggeris sebelum zamannya Wesley, sebagian besar
diakibatkan oleh ajaran Antinomian. Banyak yang menyatakan bahwa Kristus telah
menghapuskan hukum moral, dan oleh sebab itu orang Kristen tidak berkewajiban
untuk menurutinya; bahwa orang percaya telah dibebaskan dari "perhambaan
perbuatan-perbuatan baik." Sebagian yang lain, walaupun mengakui keabadian
hukum itu, menyatakan bahwa para pendeta tidak perlu mendesak atau mendorong
orang-orang untuk menuruti aturan atau perintah itu, oleh karena mereka yang
telah dipilih Allah kepada keselamatan akan "dituntun kepada perbuatan
kesalehan dan kebajikan oleh dorongan kasih karunia ilahi yang tidak
tertahankan itu," sementara mereka yang binasa kedalam kutuk yang kekal
"tidak mempunyai kuasa atau kesanggupan untuk menuruti hukum ilahi
itu."
Yang
lain yang berpegang pada ajaran bahwa "umat pilihan itu tidak bisa jatuh
dari kasih karunia atau kehilangan kehendak ilahi," tiba pada kesimpulan
yang lebih mengerikan lagi, bahwa "perbuatan jahat yang mereka lakukan
sebenarnya bukanlah dosa, atau tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum ilahi,
dan sebagai akibatnya mereka tidak perlu mengakui dosanya atau meninggalkannya
oleh pertobatan." -- McClintock and Strong's Cyclopaedia, art. Antinomians
(ed. 1871). Oleh sebab itu mereka menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai
dosa yang paling buruk sekalipun, "yang dianggap secara universal sebagai
pelanggaran berat kepada hukum ilahi, bukanlah suatu dosa di pandangan Allah,"
jika dilakukan oleh seseorang umat pilihan, "sebab itulah salah satu
ciri-ciri penting dan jelas dari seorang umat pilihan, bahwa mereka tidak dapat
melakukan sesuatu baik yang tidak menyenangkan hati Allah maupun yang dilarang
oleh hukum."
Doktrin-doktrin
aneh dan menakutkan ini pada dasarnya adalah sama dengan pengajaran yang
berkembang kemudian oleh para pendidik dan para ahli teologia -- bahwa tidak
ada hukum ilahi yang tidak bisa diubah sebagai standar hak, tetapi standar
moral akan ditentukan oleh masyarakat itu sendiri, dan selamanya mempunyai
kemungkinan untuk diubah. Semua pemikiran ini diilhami oleh roh yang sama --
oleh dia yang, bahkan di antara penduduk Surga yang tidak berdosa, memulai
pekerjaannya mencari-cari kesempatan untuk menghancurkan hukum Allah yang benar
dan yang mengendalikan itu.
Doktrin
dekrit ilahi, yang tidak berubah dan memperbaiki tabiat manusia, telah menuntun
banyak orang kepada penolakan hukum Allah. Wesley dengan tegas menolak
kesalahan guru-guru ajaran Antinomian, dan menunjukkan bahwa doktrin ini, yang
menuntun kepada Antinomianisme, bertentangan dengan Alkitab. "Karena kasih
karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata." "Itulah
yang baik dan yang berkenan kepada Allah, Juru Selamat kita, yang menghendaki
semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran. Karena
Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan
manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai
tebusan bagi semua manusia." (Titus 2:11; 1 Timotius 2:3-6).
Roh
Allah dianugerahkan dengan cuma-cuma untuk menyanggupkan setiap orang untuk
memperoleh keselamatan. Dengan demikian Kristus, "Terang yang
sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia."
(Yoh. 1:9). Manusia gagal memperoleh keselamatan oleh karena dengan sengaja
menolak karunia hidup.
Sebagai
jawaban kepada pendapat yang mengatakan bahwa pada saat kematian Kristus,
ajaran Sepuluh Hukum (decalogue) telah dihapuskan bersama dengan hukum upacara,
Wesley berkata, "Hukum moral, yang terdapat di dalam Sepuluh Hukum dan
diberlakukan oleh para nabi, tidak dihapuskan-Nya. Kedatangan-Nya tidak
dimaksudkan untuk membatalkan sesuatu bagian dari hukum itu. Hukum ini adalah
hukum yang tidak pernah dihapuskan, yang 'berdiri teguh sebagai saksi yang
setia di Surga' . . . . Hukum ini sudah ada sejak awal dunia ini, yang
'dituliskan bukan di atas loh-oh batu,' tetapi di dalam hati semua anak
manusia, pada waktu mereka keluar dari tangan Pencipta (Khalik). Namun
huruf-huruf yang pada suatu ketika dituliskan oleh jari-jari tangan Allah,
sekarang dinodai oleh dosa. Meskipun begitu, hukum itu tidak dapat benar-benar
dihapuskan sementara kita masih mempunyai kesadaran terhadap yang baik dan yang
jahat. Setiap bagian dari hukum ini harus tetap berlaku bagi manusia, dan di
segala zaman, sebagaimana ia tidak tergantung kepada waktu atau tempat, atau
keadaan-keadaan yang lain yang dapat berubah. Tetapi bergantung pada sifat
alamiah Allah, dan alamiah manusia dan hubungannya yang tak berubah kepada satu
sama lain. " 'Aku datang bukan untuk merombak hukum, tetapi untuk
menggenapi' . . . . Tanpa dipertanyakan, maksud-Nya dalam hal ini (sesuai
dengan semua yang sudah lalu dan yang akan menyusul), -- Aku datang untuk
memenuhinya, walau apapun pemutar-balikan manusia: Aku datang untuk
menempatkannya di tempat yang bisa dilihat dengan jelas dan penuh betapapun
kegelapan atau atau kesuraman menutupi tempat itu. Aku datang untuk menyatakan
kebenaran dan kepenuhan makna setiap bagian dari hukum itu, untuk menunjukkan
panjangnya dan lebarnya, luas seluruhnya setiap perintah yang dikandungnya dan
tingginya dan dalamnya, kemurnian dan kerohanian yang tak terpahami dalam semua
cabang-cabangnya." -- Wesley's Works, Sermon 25.
Wesley
menyatakan keselarasan yang sempurna hukum itu dengan kabar Injil. "Oleh
sebab itu, ada hubungan yang paling erat yang dapat dipikirkan, antara hukum
dan Injil. Di satu sisi, hukum itu secara terus menerus menunjukkan jalan dan
mengarahkan kita kepada Injil. Di sisi lain, Injil itu terus menerus menuntun
kita kepada penggenapan hukum itu dengan lebih tepat. Sebagai contoh, hukum itu
menghendaki kita mengasihi Allah, mengasihi tetangga kita, menjadi lemah
lembut, rendah hati atau suci. Kita merasa bahwa kita tidak layak untuk hal-hal
ini, ya, 'bagi manusia hal ini tidak mungkin,' tetapi kita melihat janji Allah
memberikan kasih itu kepada kita, dan membuat kita lemah lembut dan rendah hati
dan suci. Kita berpegang kepada Injil ini, kepada kabar kesukaan. Hal itu
diberikan kepada kita sesuai dengan iman kita. Dan 'kebenaran hukum itu
digenapi di dalam kita,' melalui iman yang di dalam Kristus Yesus . . . .
"Di
tingkat yang paling tinggi musuh-musuh Injil Kristus," kata Wesley,
"adalah mereka yang secara terbuka dan jelas 'menghakimi hukum itu,'
sendiri, dan 'berbicara jahat mengenai hukum itu,' yang mengajar orang
melanggar (melenyapkan, melonggarkan, atau membuka ikatan kewajiban kepada)
bukan hanya satu -- yang paling kecil atau yang paling besar -- tetapi seluruh
hukum itu . . . . Yang paling mengherankan dari semua keadaan yang membantu
keadaan penipuan besar ini ialah bahwa mereka yang menyerah kepadanya,
benar-benar percaya bahwa mereka menghormati Kristus oleh membuangkan
hukum-Nya. Dan bahwa mereka sedang membesarkan kedudukan-Nya sementara
membinasakan ajaran-ajaran-Nya! Ya, mereka menghormati-Nya hanya seperti yang
dilakukan Yudas bilamana ia berkata, 'Salam Rabbi dan ia mencium-Nya,' Dan
Kristus juga bisa berkata dengan jujur kepada setiap orang, 'Engkau
mengkhianati Anak Manusia dengan sebuah ciuman?' Adalah pengkhianatan dengan
ciuman membicarakan darah-Nya, tetapi membuang mahkota-Nya. Menyalakan terang
oleh sesuatu bagian hukum-Nya, tetapi berpura-pura memajukan Injil-Nya. Tidak
ada yang akan lolos dari tuduhan ini, yang mengkhotbahkan iman sedemikian rupa,
apakah secara langsung atau tidak langsung cenderung mengesampingkan setiap
cabang penurutan, dan yang mengkhotbahkan Kristus dengan meniadakan atau
melemahkan hukum Allah yang terkecil sekalipun.' -- Wesley's Works, Sermon 25.
Kepada
mereka yang mendesak bahwa, "pengkhotbahan Injil menjawab semua tujuan
akhir hukum itu," Wesley menjawab, "Ini kita tolak dengan keras. Hal
itu tidak menjawab tujuan akhir sekali dari hukum itu, yaitu, meyakinkan
manusia akan dosa, membangunkan mereka yang masih tidur di tepi pintu
neraka." Rasul Paulus menyatakan bahwa "oleh hukum kita mengenal
dosa;" "dan bukan sampai seseorang melakukan dosa baru benar-benar
merasakan keperluannya akan penebusan darah Kristus . . . . 'Mereka yang sehat'
sebagaimana Tuhan kita sendiri mengamatinya, 'tidak memerlukan dokter, tetapi
mereka yang sakit.' Oleh sebab itu, adalah tidak masuk akal untuk menyodorkan
seorang dokter kepada mereka yang sehat, atau paling sedikit yang membayangkan
diri mereka sehat. Pertama-tama engkau harus meyakinkan bahwa mereka itu sakit,
sebab kalau tidak mereka tidak akan berterimakasih kepadamu atas jerih payahmu.
Adalah sama mustahilnya menyodorkan Kristus kepada mereka yang hatinya 'sehat,'
yang belum pernah mengalami patah hati." -- Idem, Sermon 35.
Dengan
demikian sementara mengkhotbahkan Injil karunia Allah, Wesley, seperti Tuannya,
berusaha "membesarkan hukum, dan menghormatinya." Dengan setia ia
melakukan tugas yang diberikan Allah kepadanya, dan ia diizinkan untuk melihat
hasilnya yang gemilang. Pada akhir hidupnya yang cukup lanjut yang lebih dari
delapan puluh tahun -- lebih dari setengah abad digunakannya dalam pelayanan
Injil -- pengikut-pengikutnya berjumlah lebih dari setengah juta orang. Tetapi
orang-orang banyak, yang melalui usahanya telah diangkat dari puing-puing dan
kehinaan dosa kepada kehidupan yang lebih tinggi dan lebih suci, dan jumlahnya
yang oleh pengajarannya telah mencapai pengalaman yang lebih dalam dan lebih
kaya, tidak akan pernah diketahui sampai seluruh keluarga umat yang ditebus itu
dikumpulkan ke dalam kerajaan Allah. Hidupnya mempersembahkan satu pelajaran
yang tak ternilai harganya bagi setiap orang Kristen. Akankah iman dan
kerendahanhati, semangat yang tak mengenal lelah, pengorbanan diri sendiri, dan
penyerahan hamba Kristus ini, boleh dipantulkan di dalam gereja-gereja zaman
ini?
Kemenangan Akhir Bab 13 NEGERI BELANDA DAN SKANDINAVIA
Di Negeri Belanda, kelaliman kepausan lekas
menimbulkan protes. Tujuh ratus tahun sebelum zaman Luther, paus Roma, tanpa
takut, dituduh oleh dua orang uskup, yang telah pernah dikirim sebagai duta ke
Roma. Mereka telah mengetahui tabiat sebenarnya "Sri Paus" : Allah
"telah menjadikan gereja permaisuri-Nya, isterinya, untuk menjadi
pemelihara yang agung selama-lamanya bagi keluarganya, dengan maskawin yang
tidak akan luntur atau binasa, dan memberikan kepadanya mahkota kekal dan
tongkat kekuasaan, . . . yang kesemuanya memberikan keuntungan kepadamu seperti
pencuri yang tercegat. Engkau menempatkan dirimu di kaabah seperti Allah;
gantinya sebagai gembala engkau telah menjadi serigala kepada domba-domba ; . .
. engkau membuat kami percaya bahwa engkau adalah uskup tertinggi, tetapi
engkau bahkan bertindak bagaikan seorang lalim. . . . Yang sebenarnya engkau
harus menjadi hamba kepada hamba-hamba seperti yang engkau katakan, namun
engkau telah berusaha menjadi tuan segala tuan . . . . Engkau membuat
perintah-perintah Allah jatuh kepada kehinaan . . . . Roh Kudus adalah
pembangun semua gereja sejauh dunia masih terbentang. . . . Kota Allah kita,
dimana kita menjadi warganya, meliputi seluruh alam semesta. Kota Allah itu
lebih besar dari kota yang disebut nabi-nabi kudus Babylon yang berpura-pura
bersifat ilahi, mengangkat dirinya ke langit dan menyombongkan diri bahwa
hikmatnya kekal. Dan akhirnya, walaupun tanpa alasan, ia mengaku bahwa ia tidak
pernah salah, atau tidak akan pernah salah." -- Brandt, "History of the
Reformation in and about the Low Countries," b. 1, p. 6.
Yang lain bangkit menggemakan protes ini dari
abad ke abad. Dan guru-guru pada zaman itu, yang menjelajahi berbagai negeri
dan dikenal dengan berbagai nama, memenghidupkan tabiat misionaris Vaudois, dan
menyebarkan kemana-mana pengetahuan Injil itu, memasuki Negeri Belanda. Ajaran
(doktrin) mereka menyebar dengan cepat. Alkitab Waldenses mereka terjemahkan
dalam bentuk ayat-ayat kedalam bahasa Belanda. Mereka menyatakan "bahwa
ada keuntungan besar di dalamnya. Tak ada lelucon, tidak ada cerita dongeng,
tidak ada hal yang sepele, tidak ada kekurangan, tetapi semuanya adalah
perkataan kebenaran. Memang benar, di sana sini ada kerak-kerak yang mengeras,
tetapi sumsum dan manisnya apa yang baik dan suci dengan mudah bisa ditemukan
di dalamnya." -- Brandt, b. 1, p. 14. Demikianlah dituliskan oleh
sahabat-sahabat iman zaman kuno pada abad kedua belas.
Sekarang mulailah penganiayaan Romawi. Tetapi di
tengah-tengah tumpukan kayu bakar dan penganiayaan, orang-orang percaya terus
bertambah. Mereka dengan teguh menyatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya
pedoman agama yang tidak bisa salah, dan bahwa "tak seorangpun harus
dipaksa untuk mempercayainya, tetapi harus dimenangkan dengan khotbah." --
Martyn, Vol. II, p. 87.
Ajaran Luther mendapat tanah subur di Negeri
Belanda. Orang-orang yang sungguh-sungguh dan setia bangkit untuk
mengkhotbahkan Injil. Dari salah satu propinsi Negeri Belanda muncullah Menno
Simons. Seorang Katolik Roma yang terdidik, dan yang diurapi kepada keimamatan,
ia sama sekali masih buta mengenai Alkitab, dan ia tidak akan membacanya,
karena takut tertipu menjadi bida'ah. Pada waktu keragu-raguan mengenai doktrin
penjelmaan roti dan air anggur menjadi daging dan darah Kristus ("transubstantiation")
mengganggu pikirannya, ia menganggapnya sebagai godaan Setan, dan oleh doa dan
pengakuan ia berusaha membebaskan diri dari gangguan itu, tetapi sia-sia.
Dengan hidup boros ia berusaha untuk mendiamkan suara hati nuraninya yang
mengganggunya. Namun tanpa hasil apa-apa. Setelah beberapa waktu lamanya ia
dituntun untuk mempelajari buku Perjanjian Baru. Dan buku ini bersama-sama
dengan tulisan-tulisan Luther membuat ia menerima iman yang diperbaharui.
Segera sesudah itu ia menyaksikan di kampung yang berdekatan pemenggalan kepala
seseorang yang dihukum mati oleh karena dibaptiskan ulang. Hal ini menuntunnya
mempelajari mengenai baptisan bayi. Ia sama sekali tidak menemukan bukti-bukti
di dalam Alkitab mengenai hal ini, tetapi menemukan bahwa pertobatan dan
imanlah sebagai syarat untuk menerima baptisan.
Menno mengundurkan diri dari Gereja Roma, dan
membaktikan hidupnya kepada pengajaran kebenaran yang telah diterimanya. Suatu
golongan orang-orang fanatik telah bangkit, baik di Negeri Belanda maupun di
Jerman, yang menganjurkan ajaran-ajaran yang tidak masuk akal dan yang
menghasut, melanggar hukum dan kesopanan, dan menimbulkan kekerasan dan
pemberontakan serta huruhara. Menno melihat akibat yang mengerikan yang
diakibatkan oleh gerakan ini, dan dengan keras ia menentang ajaran-ajaran yang
salah dan rencana-rencana liar golongan fanatik itu. Namun, banyak orang yang
telah disesatkan oleh kaum fanatik ini, telah meninggalkan ajaran-ajaran
sesatnya. Masih ada tinggal beberapa keturunan orang Kristen purba, buah-buah
dari pengajaran Waldenses. Menno bekerja dengan bersemangat dan berhasil di
antara golongan-golongan ini. Selama dua puluh lima tahun ia bersama isterinya
dan anak-anaknya mengembara menanggung kesulitan besar, pengucilan, dan sering
yang membahayakan nyawanya. Ia menjelajahi Negeri Belanda dan Jerman bagian
Utara, terutama bekerja di antara golongan-golongan rakyat biasa, namun
berusaha menyebar-luaskan pengaruhnya. Secara alamiah ia pandai berbicara.
Meskipun mempunyai pendidikan yang terbatas, ia mempunyai integritas yang tidak
goyang, mempunyai kerendahan hati dan tabiat yang lemah lembut, dan seorang
yang tulus dan saleh yang sungguh-sungguh, sehingga nyata dalam hidupnya semua
jaran-ajaran yang diajarkannya, dan membawa rasa keyakinan orang orang banyak.
Pengikut-pengikutnya tersebar, berpencar dimana-mana, dan ditindas. Mereka
sangat menderita oleh karena disamakan dengan pengikut-pengikut Munster yang
fanatik. Tetapi banyak sekali yang bertobat atas usahanya.
Doktrin yang dibaharui itu lebih banyak diterima
di Negeri Belanda daripada dimanapun. Di beberapa negara pengikut-pengikutnya
mengalami penganiayaan yang mengerikan. Di Jerman, Charles V telah melarang
Pembaharuan, dan dengan gembira membunuh pengikut-pengikutnya di tiang
pembakaran. Tetapi para pangeran berdiri sebagai penghalang melawan
kelalimannya. Di Negeri Belanda kuasanya lebih besar lagi, dan dekrit
penganiayaan dikeluarkan susul menyusul dengan cepat. Membaca Alkitab,
mendengarkannya atau mengajarkannya, atau bahkan berbicara mengenai itu akan
mendatangkan hukuman mati di atas tiang pembakaran. Berdoa kepada Allah di
tempat tersembunyi, tidak menyembah patung, atau menyanyikan nyanyian Mazmur
juga bisa dihukum mati. Bahkan mereka yang menyangkal kesalahannya juga
dipersalahkan. Jika laki-laki, dibunuh dengan pedang, dan jika wanita, dikubur
hidup-hidup. Ribuan orang binasa dibawah pemerintahan Charles dan Philip II.
Pada suatu waktu seluruh anggota suatu keluarga
dibawa kehadapan pemeriksa, dituduh menghindari upacara misa, dan berbakti di
rumah. Pada pemeriksaan ini, yang biasanya dilakukan dengan rahasia, anak yang
paling muda menjawab, "Kami bertelut berdoa, kiranya Allah menerangi
pikiran kami dan mengampuni dosa-dosa kami. Kami berdoa bagi pemerintah kami,
kiranya pemerintahannya makmur, sejahtera dan hidupnya berbahagia. Kami berdoa
bagi hakim-hakim kami, semoga Allah melindunginya." -- Wylie, b. 18, ch.
6. Sebagian dari para hakim yang mendengarnya sangat terkesan, namun sang ayah
dan seorang dari anak-anaknya dihukum mati di tiang pembakaran.
Kemarahan para penganiaya diimbangi iman para
syuhada. Bukan hanya para lelaki, tetapi jga perempuan cantik yang lemah lembut
dan wanita-wanita muda menunjukkan keberanian yang pantang mundur. "Para
isteri berdiri di samping tiang pembakaran suaminya, dan sementara suami
menahan api yang membakarnya, mereka membisikkan kata-kata penghiburan, atau
menyanyikan lagu-lagu pujian untuk memberi semangat." "Wanita-wanita
muda memasuki lubang kubur mereka seolah-olah mereka memasuki kamar mereka pada
waktu mau tidur malam, atau pergi ke tempat pembakaran dengan memakai pakaian
terbagusnya seolah-olah mereka mau pergi ke pesta pernikahannya." --
Wylie, b. 18, ch. 6.
Seperti pada waktu kekafiran berusaha
membinasakan Injil, darah orang-orang Kristen itu menjadi benih kabar
Injil." -- Lihat Tertullian's "Apology," par. 50. Penganiayaan
menambah jumlah orang-orang yang bersaksi bagi kebenaran. Tahun demi tahun raja
semakin gusar oleh tekad orang-orang yang tak terdundukkan itu, lalu berusaha
meningkatkan usaha-usaha kejamnya, tetapi hasilnya sia-sia. Di bawah William
dari Orange, akhirnya Revolusi membawa kebebasan beribadat kepada Allah bagi
Negeri Belanda.
Di pegunungan Piedmont, di dataran Perancis dan
pantai-pantai Negeri Belanda, kemajuan pekabaran Injil ditandai dengan
pertumpahan-pertumpahan darah murid-murid Injil. Tetapi di negeri-negeri di
sebelah Utara, Injil itu masuk dengan aman. Mahasiswa-mahasiswa dari
Wittenberg, yang kembali ke kampung halamannya, membawa iman yang dibaharui itu
ke Skandinavia. Penerbitan tulisan-tulisan Luther juga menyebarkan terang
kebenaran itu. Orang-orang Utara yang sederhana dan keras berbalik dari
kebejatan, kemegahan dan ketakhyulan Roma, dan menyambut kemurnian,
kesederhanaan dan kebenaran yang memberi kehidupan Alkitab.
Tausen, "Sang Pembaharu Denmark,"
adalah anak seorang petani. Sejak kecil ia sudah menunjukkan intelektual yang
keras. Ia haus akan pendidikan, tetapi keinginannya ini tidak bisa terpenuhi
oleh karena keadaan orang tuanya. Kemudian ia memasuki sebuah biara. Di sini,
kemurnian hidupnya bersama-sama dengan kemajuannya dan kesetiaannya
menjadikannya disenangi oleh atasannya. Ujian menunjukkan bahwa ia mempunyai
bakat yang menjanjikan pelayanan yang baik bagi gereja di masa yang akan
datang. Diputuskan untuk menyekolahkannya di salah satu universitas di Jerman
atau di Nederland. Pemuda ini diizinkan memilih sendiri sekolah yang ia sukai
dengan satu syarat, bahwa ia tidak boleh pergi ke Wittenberg. Sarjana-sarjana
gereja tidak boleh dipengaruhi dengan racun bida'ah. Demikianlah kata para
biarawan itu.
Tausen pergi ke Cologne, yang kemudian,
sebagaimana sekarang, menjadi salah satu benteng pertahanan Romanisme. Di sini
ia segera muak dengan ilmu mistik para pengajar. Kira-kira pada waktu yang sama
ia mendapat tulisan-tulisan Luther. Ia membacanya dengan kagum dan dengan
senang. Dan dengan kerinduan yang besar ingin menikmati pengajaran pribadi
Pembaharu itu. Tetapi dengan berbuat demikian ia harus siap menanggung risiko
melawan atasan biaranya, dan kehilangan dukungannya. Ia segera membuat
keputusan. Dan tidak lama sesudah itu ia mendaftarkan diri menjadi mahasiswa di
Wittenberg.
Sekembalinya ke Denmark, kembali ia pergi ke
biaranya. Tak seorangpun yang menduga bahwa ia adalah pengikut Lutheranisme. Ia
tidak membukakan rahasianya, tetapi berusaha menuntun orang-orang kepada iman
yang lebih murni dan kehidupan yang lebih suci tanpa menimbulkan prasangka
buruk teman-temannya. Ia membuka Alkitab, dan menjelaskan artinya yang
sebenarnya; dan akhirnya mengajarkan Kristus kepada mereka sebagai kebenaran
bagi orang-orang berdosa, dan satu-satunya harapan keselamatan. Kepala biara
sangat marah kepadanya. Ia telah mengharapkannya sebagai seorang pembela Roma
yang berani. Ia segera dipindahkan dari biaranya ke biara yang lain, dan
dimasukkan ke dalam kamar tahanan dengan pengawasan ketat.
Para pengawalnya yang baru ketakutan karena
beberapa biarawan segera menyatakan mereka bertobat kepada Protestantisme.
Melalui terali-terali ruang tahanannya Tausen berkomunikasi kepada teman-temannya
mengenai pengetahuan kebenaran.
Seandainya para pater Denmark cakap dalam
perencanaan gereja mengenai penanganan para bida'ah, maka suara Tausen tidak
akan pernah lagi kedengaran.Tetapi sebagai gantinya mengirim dia kedalam
penjara di bawah tanah, mereka mengeluarkannya dari biara. Sekarang mereka
menjadi tidak berdaya. Dekrit kerajaan baru saja dikeluarkan, yang memberi
perlindungan kepada guru-guru doktrin baru. Tausen mulai berkhotbah.
Gereja-gereja terbuka baginya, dan orang-orangpun berduyun-duyun datang
mendengarkannya. Yang lain juga mengkhotbahkan firman Allah. Alkitab Perjanjian
Baru yang diterjemahkan kedalam bahasa Denmark, diedarkan secara luas.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh para pengikut paus untuk menghancurkan
pekerjaan itu, justru meluaskannya. Tidak berapa lama kemudian Denmark
menyatakan menerima iman yang dibaharui itu.
Juga di Swedia, para pemuda yang telah meminum
air dari sumur Wittenberg membawa air hidup itu ke negeri mereka dan
memberikannya kepada orang-orang di negerinya. Dua orang pemimpin Pembaharuan
Swedia, Olaf dan Laurentius Petri, anak-anak seorang pandai besi dari Orebro,
belajar dari Luther dan Melanchthon. Dan kebenaran yang mereka telah plajari,
mereka ajarkan dengan rajin. Sebagaimana Pembaharu besar itu, Olaf membangunkan
orang-orang oleh semangatnya dan kemahirannya berbicara, sementara Lurentius,
seperti Melanchthon, adalah orang yang terpelajar, penuh pikiran dan tenang.
Keduanya adalah orang-orang saleh yang giat, yang mempunyai pencapaian teologi
yang tinggi, dan yang mempunyai keberanian yang sangat, dalam memajukan
kebenaran. Oposisi para pengikut paus tidak berkurang. Imam-imam Katolik
menggerakkan orang-orang bodoh dan penganut ketakhyulan. Olaf Petri sering
diserang oleh orang banyak, dan dalam beberapa kejadian hampir-hampir tidak
dapat menyelamatkan jiwanya. Akan tetapi para Pembaharu itu sebenarnya disukai
dan dilindungi oleh raja.
Dibawah kekuasaan Gereja Roma, rakyat tenggelam
dalam kemiskinan, dan dihempas oleh penindasan. Mereka buta akan Alkitab, dan
agama mereka hanya sekedar tanda-tanda dan upacara-upacara yang tidak membawa
terang ke dalam pikiran. Mereka kembali kepada kepercayaan ketakhyulan dan
praktek-praktek kekafiran nenek moyang mereka. Bangsa ini terbagi kedalam dua
bagian yang bersaing satu sma lain. Dan permusuhan mereka itu menambah
penderitaan semua orang. Raja bermaksud untuk mengadakan pembaharuan di dalam
negara dan gereja, dan ia menyambut para pembantu yang berkemampuan ini dalam
melawan Roma.
Di hadapan raja dan orang-orang terkemuka
Swedia, Olaf Petri dengan kemampuan besar mempertahnkan ajaran-ajaran iman yang
diperbaharui itu melawan jago-jago Romawi. Ia menyatakan bahwa pengajaran para
Pater (Padri) diterima hanya kalau itu sesuai dengan Alkitab. Bahwa
doktrin-doktrin penting mengenai iman disajikan di dalam Alkitab dengan cara
yang jelas dan sederhana, sehingga semua orang bisa mengerti. Kristus berkata,
"Ajaranku tidak berasal dari diri-Ku sendiri, tetapi dari Dia yang telah
mengutus Aku." ( Yohanes 7:16). Dan Rasul Paulus menyatakan bahwa kalau ia
memberitakan Injil yang lain selain dari yang ia sudah terima, terkutuklah dia
(Galatia 1:8). "Jadi, bagaimana sekarang," kata Pembaharu itu,
"orang-orang lain harus menganggap menampilkan dogma dengan sesuka hati,
dan memberlakukannya sebagai sesuatu yang perlu bagi keselamatan?" --
Wylie, b. 10, ch. 4. Ia menunjukkan bahwa dekrit gereja tidak berwenang jikalau
bertentangan dengan perinta-perintah Allah, dan mempertahankan prinsip-prinsip
Protestan yang utama, bahwa "hanya Alkitab saja satu-satunya"
peraturan dan ukuran iman dan perbuatan.
Kontes ini, walaupun dilakukan dengan keadaan
yang samar-samar, menunjukkan kepada kita "jenis orang-orang yang
membentuk lapisan dan barisan prajurit para Pembaharu. Mereka tidak buta huruf,
tidak pendukung sesuatu sekte, dan bukan penentang-penentang yang suka ribut --
jauh dari itu. Mereka adalah orang-orang yang telah mempelajari firman Allah,
dan mengetahui benar bagaimana menggunakan senjata yang diberikan oleh Alkitab.
Dalam hal pengetahuan, mereka telah mendahului zamannya. Bilamana kita
memusatkan perhatian kita kepada pusat-pusat mengagumkan seperti Wittenberg dan
Zurich, dan kepada nama-nama seperti Luther dan Melanchthon, Zwingle dan
Oecolampadius, kita cenderung mengetahui bahwa mereka-mereka inilah pemimpin
pergerakan itu, dan sewajarnyalah kita mengharapkan adanya kuasa luar biasa dan
kemahiran yang luas pada mereka. Tetapi tidak demikian dengan bawahan mereka.
Baiklah kita memandang kepada gedung kesenian yang tidak terkenal di Swedia,
dengan nama-nama sederhana Olaf dan Laurentius Petri -- mulai dari guru-guru
sampai kepada murid-murid -- apakah yang kita dapati? . . . . Para sarjana dan
pakar-pakar teologia. Orang-orang yang telah menguasai seluruh sistem kebenaran
Injil, dan yang telah memperoleh kemenangan dengan mudah atas orang-orang yang
pandai memutar-balikkan argumentasi di sekolah-sekolah dan pemuka-pemuka
Roma." -- Wylie, b. 10, ch. 4.
Sebagai akibat dari perdebatan ini, raja Swedia
menerima iman Protestan, dan tidak lama kemudian majelis nasional menyatakan
dukungannya. Alkitab Perjanjian Baru diterjenahkan ke dalam bahasa Swedia oleh
Olaf Petri, dan raja ingin kedua bersaudara itu menerjemahkan seluruh Alkitab.
Dengan demikian untuk pertama kalinya rakyat Swedia menerima firman Allah dalam
bahasa mereka sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat memerintahkan agar diseluruh
kerajaan itu para pendeta menerangkan Alkitab, dan agar anak-anak di
sekolah-sekolah di ajar untuk membaca Alkitab.
Dengan tetap dan pasti kegelapan kebodohan dan
ketakhyulan diusir oleh terang Injil. Bangsa itu mengalami kemajuan dan
kebesaran yang belum pernah dialami sebelumnya, setelah dibebaskan dari
penindasan Romawi. Swedia menjadi salah satu benteng pertahanan Protestanisme.
Seabad kemudian, pada waktu bahaya yang paling sengit, bangsa yang kecil dan
lemah ini -- satu-satunya di Eropa yang berani memberikan pertolongan --
membantu melepaskan Jerman dari Perang Tigapuluh Tahun yang sengit. Tampaknya
semua negara Eropa bagian Utara akan kembali berada di bawah kelaliman Roma.
Tentara Swedialah yang menyanggupkan Jerman untuk mengalahkan kepausan, untuk
memenangkan toleransi bagi kaum Protestan -- pengikut-pengikut Calvin maupun
Luther -- dan mengembalikan kebebasan hati nurani Pembaharuan.
9 Apr 2014
Kemenangan Akhir Bab 12 PEMBAHARUAN (REFORMASI) DI PERANCIS
Protes
Spires dan Pengakuan di Augsburg, yang menandai kemenangan Pembaharuan di
Jerman, diikuti oleh pertentangan dan kegelapan selama bertahun-tahun lamanya.
Dilemahkan oleh pertentangan diantara para pendukungnya dan diserang oleh
musuh-musuhnya yang kuat, Protestantisme tampaknya menuju kehancurannya. Ribuan
orang memeteraikan kesaksiannya dengan darahnya. Perang saudarapun pecah.
Kepentingan Protestan dikhianati oleh seorang pengikutnya yang terkemuka. Para
pangeran pembaharuan yang terbaik jatuh ke tangan kaisar, dan diseret sebagai
tawanan dari satu kota ke kota lain. Tetapi disaat kemenangannya yang nyata,
kaisar dipukul kalah. Ia melihat mangsanya dirampas dari genggamannya, dan pada
akhirnya ia terpaksa memberikan toleransi kepada doktrin-doktrin, yang telah
menjadi cita-cita hidupnya untuk menghancurkannya. Ia telah mempertaruhkan
kerajaannya, hartanya dan hidupnya sendiri, untuk menumpas bida'ah. Sekarang ia
melihat bala tenteranya habis percuma dalam peperangan, hartanya ludas,
daerah-daerah kerajaannya terancam pemberontakan, sementara dimana-mana iman
yang dengan sia-sia ditekannya semakin meluas. Charles V telah berperang
melawan Yang Mahakuasa. Allah telah bersabda, "Jadilah terang,"
tetapi kaisar telah berusaha mempertahankan kegelapan itu. Segala maksudnya
telah gagal. Dan dalam usia yang masih muda, dilelahkan oleh perjuangan yang
lama, ia turun dari takhtanya dan mengasingkan diri di suatu biara.
Di
Swis, sebgaimana juga di Jermn, hari-hari kegelapan menyelubungi Pembaharuan.
Sementara banyak daerah menerima iman yang dibaharui, yang lain secara membabi
buta masih tetap bergantung kepada ajaran Roma. Penganiayaan terhadap mereka
yang ingin menerima kebenaran, akhirnya menimbulkan perang saudara. Zwingle,
dan banyak yang lain yang telah bersatu dengan dia dalam pembaharuan, terlibat
dalam peristiwa berdarah di Cappel. Oecolampadius, yang merasa terpukul oleh
peristiwa yang mengerikan ini, meninggal dunia tidak lama kemudian. Roma
menang, dan di berbagai tempat kelihatannya hampir direbut kembali apa yang
telah hilang. Akan tetapi Allah tidak melupakan pekerjaan-Nya dan umat-Nya.
Tangan-Nya akan melepaskan mereka. Di negeri-negri lain Ia telah mengangkat
pekerja-pekerja untuk melanjutkan pekerjaan Pembaharuan.
Di
Perancis, sebelum nama Luther didengar sebagai seorang Pembaharu, fajar telah
mulai menyingsing. Salah seorang yang pertama menerima terang itu ialah
Lefevre, seorang yang sudah tua. Ia seorang yang berpendidikan luas, seorang
guru besar di Universitas Paris, dan seorang pengikut kepausan yang
sungguh-sungguh dan bersemangat. Dalam penelitiannya terhadap literatur kuno,
perhatiannya tertuju kepada Alkitab, dan ia memperkenalkan ilmunya itu kepada
para mahasiswanya.
Lefevre
adalah seorang pemuja orang-orang saleh yang bersemangat, dan ia bertanggungjawab
untuk mempersiapkan sejarah para orang-orang saleh dan para syuhada (martir)
sebagaimana terdapat dalam cerita-cerita kuno gereja. Pekerjaan ini melibatkan
usaha besar; tetapi sebenarnya ia telah membuat kemajuan yang berarti, pada
waktu ia berpikir mungkin ia boleh mendapat bantuan yang berarti dari Alkitab,
lalu ia mulai mempelajarinya dengan tujuan ini. Benar, di sini ia menemukan
orang-orang saleh, tetapi tidak seperti yang digambarkan oleh kalender Romawi.
Pikirannya dibanjiri oleh terang ilahi. Dalam kekagumannya dan kemuakannya ia
meninggalkan tugasnya itu, dan membaktikan dirinya kepada firman Allah.
Kebenaran-kebenaran yang berharga yang ditemukannya di sana segera
diajarkannya.
Pada
tahun 1512 sebelum Luther maupun Zwingle memulai pekerjaan pembaharuan, Lefevre
menulis, "Allahlah yang mengaruniakan kepada kita, oleh iman, kebenaran
yang hanya oleh karena karunia, membenarkan kita bagi hidup kekal." --
Wylie, b. 13, ch. 1. Berpegang pada rahasia penebusan, ia berkata, "Oh,
betapa tak terkatakan besarnya penggantian itu. Yang Tak Berdosa menanggung
hukuman, dan ia yang bersalah dibebaskan. Yang Diberkati menanggung kutuk, dan
yang terkutuk dibawa kepada berkat. Kehidupan itu mati, dan yang mati itu
dihidupkan. Yang Mulia masuk ke dalam kegelapan, dan dia yang tidak tahu
apa-apa selain bermuka kebingungan, disalut dengan kemuliaan." --
D'Aubigne, b. 12, ch. 2 (London ed.).
Dan
sementara ia mengajarkan bahwa kemuliaan keselamatan semata-mata adalah milik
Allah, ia juga menyatakan bahwa tugas penurutan adalah milik manusia.
"Jika engkau adalah anggota gereja Kristus," katanya, "engkau
adalah anggota tubuh-Nya. Jika engkau adalah anggota tubuh-Nya, maka engkau
penuh dengan alamiah ilahi . . . . Oh, jikalau sekiranya orang-orang mengerti
kesempatan ini, betapa murninya, sucinya dan kudusnya mereka akan hidup, dan
betapa mereka dapat digabungkan bersama, jika dibandingkan dengan kemuliaan
yang di dalam mereka, -- kemuliaan yang mata daging tidak dapat lihat, -- akan
menganggap semua kemuliaan dunia yang tidak berarti ini." -- Idem, b. 12,
ch. 2 (London ed.).
Ada
beberapa mahasiswa Lefevre yang mendengarkan perkataannya dengan
sungguh-sungguh, dan terus menyatakan kebenaran, lama sesudah suara gurunya itu
didiamkan. Salah seorang diantaranya ialah William Farel. Ia adalah anak dari
orang tua yang saleh dan dididik menerima, dengan iman yang sungguh-sungguh,
ajaran-ajaran gereja. Sehingga ia boleh berkata mengenai dirinya seperti Rasul
Paulus, "Aku telah hidup sebagai seorang Farisi menurut mazhab yang paling
keras dalam agama kita." (Kisah 26:5). Sebagai seorang pengikut Roma yang
taat, dengan semangat yang berapi-api ia berusaha membinasakan semua mereka
yang berani menentang gereja. "Saya akan menggertakkan gigiku bagaikan
serigala yang ganas," katanya kemudian waktu berbicara mengenai dirinya
waktu itu, "bilamana saya mendengar seseorang berbicara menentang
paus." -- Wylie, b. 13, ch. 2. Ia tidak mengenal lelah memuja para orang
saleh. Bersama-sama dengan Lefevre mengunjungi gereja-gereja di Paris,
beribadat di mezbah-mezbah dan memuja dengan persembahan-persembahan di
tempat-tempat pemujaan kudus. Tetapi semuanya ini tidak dapat membawa kedamaian
kepada jiwanya. Perasaan berdosa terus melekat pada dirinya, yang tidak dapat
dihapuskan oleh semua tindakan pemujaan yang dilakukannya. Ia mendengarkan
kata-kata Pembaharu sebagai suara dari Surga, "Keselamatan adalah kasih
karunia Allah." "Yang kudus dihukum, dan penjahat dibebaskan."
"Hanya salib Kristus saja yang sanggup membuka pintu gerbang Surga, dan
menutup pintu gerbang neraka." -- Wylie, b. 13, ch. 2.
Farel
menerima kebenaran dengan sukacita. Oleh pertobatan seperti yang dialami oleh
Rasul Paulus, ia beralih dari perhambaan tradisi kepada kemerdekaan anak-anak
Allah. "Gantinya memiliki hati seorang pembunuh bagaikan serigala yang
kelaparan," katanya, "ia menjadi seperti seekor anak domba yang
lembut dan tak berbahaya, karena hatinya seluruhnya telah ditarik dari paus dan
dberikan kepada Yeusu Kristus." -- D'Aubigne, b. 12, ch. 3.
Sementara
Lefevre terus menyebarkan terang itu kepada para mahasiswanya, Farel, seorang
yang bersemangat dalam pekerjaan Yesus, sebagaimana dahulu pada paus, pergi
memberitakan kebenaran kepada umum. Seorang pejabat gereja, uskup dari Meaux,
bergabung dengan mereka tidak lama kemudian. Guru-guru lain yang tergolong
tinggi dalam kemampuan dan pendidikan, bergabung juga untuk memberitakan Injil.
Dan mereka memenangkan banyak pengikut dari semua golongan, dari kalangan
pekerja dan petani sampai ke istana raja. Saudara perempuan Francis I, yang
kemudian menjadi raja, menerima iman yang dibaharui itu. Raja sendiri dan ibu
suri, nampaknya untuk sementara menanggapinya dengan baik, dan dengan sangat
mengharap para Pembaharu itu memandang ke depan di saat mana Perancis
dimenangkan kepada Injil.
Tetapi
harapan-harapan mereka belum terwujud. Pencobaan dan penganiayaan menanti
murid-murid Kristus. Namun hal ini diselubungi dari pandangan mereka. Satu
waktu kedamaian menyelinginya agar mereka boleh mendapat kekuatan untuk
menghadapi bencana, dan Pembaharuan memperoleh kemajuan pesat. Uskup Meaux
bekerja dengan bersemangat di wilayah keuskupannya untuk mengajar para imam
maupun orang-orang biasa atau umum. Imam-imam yang tidak mau perduli atau bodoh
dan tidak bermoral dipindahkan sejauh mungkin, dan diganti dengan orang-orang
terpelajar dan yang saleh. Uskup sangat menginginkan agar orang-orangnya
mempelajari sendiri firman Allah bagi mereka sendiri, dan hal ini segera
tercapai. Lefevre merasa bertanggungjawab untuk menerjemahkan Alkitab Perjanjian
Baru . Dan pada waktu Alkitab bahasa Jerman terjemahan Luther keluar dari
percetakan di Wittenberg, Alkitab Perjanjian Baru bahasa Perancis telah
diterbitkan di Meaux. Uskup mengerahkan tenaga dan biaya untuk menyebarkan buku
itu di gereja-gerejanya, sehingga tidak lama para petani Meaux sudah mempunyai
Alkitab Perjanjian Baru.
Bagaikan
musafir yang kehausan menyambut dengn sukacita mata air hidup, demikianlah
jiwa-jiwa ini menerima pekabaran dari Surga. Para pekerja di ladang, para
pengrajin di ruang kerjanya bergembira dalam kerjanya setiap hari sambil
membicarakan kebenaran berharga Alkitab. Pada malam hari, mereka tidak lagi
pergi ke bar-bar atau tempat-tempat minum-minum lainnya. Mereka berkumpul di
rumah-rumah untuk membaca firman Tuhan, dan berdoa dan memuji Tuhan
bersama-sama. Suatu perubahan besar segera terlihat di masyarakat. Walaupun
mereka tergolong kelompok paling sederhana, yang kurang berpendidikan dan
petani yang bekerja keras, kuasa kasih karunia Allah yang membaharui dan yang
mengangkat kelihatan dalam kehidupan mereka. Mereka berdiri sebagai saksi yang
rendah hati, pengasih, dan kudus terhadap apa yang akan diberikan Injil kepada
mereka yang menerimanya dengan sungguh-sungguh.
Terang
kebenaran yang dinyalakan di Meaux memancarkan sinarnya sampai ke tempat yang
jauh. Setiap hari bilangan orang yang bertobat terus bertambah. Kemarahan
pejabat tinggi gereja pada satu saat dapat ditahan oleh raja, yang benci kepada
kefanatikan sempit para biarawan. Tetapi akhirnya para pemimpin kepausan memperoleh
kemenangan. Sekarang tiang gantungan sudah didirikan. Uskup Meaux dipaksa untuk
memilih antara api dan penarikan kembali ajaran-ajarannya, lalu ia memilih
jalan mudah. Tetapi walaupun pemimpin mereka sudah jatuh, para pengikutnya
tetap teguh pada pendirian mereka. Banyak yang bersaksi demi kebenaran di
tengah-tengah nyala api yang berkobar-kobar. Dengan keberanian dan kesetiaan
mereka di tiang gantungan, orang-orang Kristen yang rendah hati ini berbicara
kepada ribuan orang, yang pada hari-hari damai tidak pernah mendengar kesaksian
mereka.
Bukan
hanya orang-orang sederhana dan miskin ini, yang di tengah-tengah penderitaan
dan hinaan, berani bersaksi bagi Kristus. Di aula-aula besar dan di istana
terdapat jiwa-jiwa yng berasal dari kalangan raja-raja yang menilai kebenaran
mengatasi kekayan atau status kedudukan, atau bahkan kehidupan itu sendiri. Di
balik baju perang kerajaan tersembunyi roh yang lebih agung dan lebih teguh
dari pada jiwa yang ada di balik jubah dan topi uskup. Louis de Berquin adalah
keturunan bangsawan. Ia adalah seorang satria istana pemberani yang menggunakan
waktunya untuk belajar, bertingkah laku halus dan bermoral yang tak bercacad.
Seorang penulis berkata, "Ia adalah seorang pengikut konstitusi kepausan,
dan seorang pendengar setia khotbah-khotbah dan misa, . . . menyempurnakan
semua kebajikannya yang lalim dengan menahan faham Lutheran dengan kebencian
khusus." Tetapi seperti yang lain-lainnya, dengan tuntunan Allah ia telah
dibawa kepada Alkitab. Ia merasa heran menemukan di sana bukan ajaran-ajaran
Roma, tetapi ajaran-ajaran Luther." -- Wylie, b. 13, ch. 9. Sejak waktu
itu ia membaktikan dirinya untuk kepentingan Injil.
"Sebagai
seorang bangsawan Perancis yang paling terpelajar," kecakapannya dan
ketrampilannya, keberaniannya yang tiada terkekang dan keperkasaannya serta
pengaruhnya di istana -- karena ia kesukaan raja -- menyebabkan ia dianggap
banyak orang sebagai seorang yang akan menjadi Pembaharu di negerinya. Beza
berkata, "Berqiun akan menjadi Luther kedua, kalau saja Francis I menjadi
'elector' kedua." "Ia lebih buruk dari Luther," kata para
pengikut kepausan. -- Idem, b. 13, ch. 9. Memang dia lebih ditakuti oleh para
pengikut Roma di Perancis. Mereka memasukkannya ke penjara sebagai seorang
bida'ah, seorang penyesat, tetapi ia dibebaskan oleh raja. Perjuangan berlanjut
selama bertahun-tahun. Francis, yang terombang-ambing antara Roma dan
Pembaharuan, kadang-kadang menerima kadang-kadang mengekang semangat hebat para
biarawan itu. Tiga kali Berquin dipenjarakan oleh penguasa kepausan, tetapi
tiga kali pula ia dibebaskan oleh raja, yang mengagumi kecakapan dan keagungan
tabiatnya, menolak mengorbankannya kepada kebencian pejabat gereja.
Telah
berulang-ulang Berquin diamarkan mengenai bahaya yang mengancamnya di Perancis,
dan mendesaknya untuk mengikuti jejak mereka yang mencari keamanan
dipengasingan secara sukarela. Erasmus, seorang pemalu dan seorang oportunis,
menulis kepada Berquin, "Mintalah supaya engkau dikirim ke luar negeri
sebagai duta besar ke negara asing, pergi dan jelajahilah Jerman. Engkau
mengenal Beda -- ia adalah binatang buas raksasa yang berkepala seribu, yang
menyemburkan bisa ke segala penjuru. Musuh-musuhmu disebut Legion. Seandainya
pekerjanmu lebih baik dari pekerjaan Yesus Kristuspun, mereka tidak akan
membiarkanmu sampai mereka benar-benar membinasakanmu. Janganlah engkau terlalu
percaya kepada perlindungan raja. Dalam segala keadaan janganlah berkompromi
dengan saya dalam kemampuan teologia." -- Wylie, b. 13, ch. 9.
Akan
tetapi, sementara bahaya-bahaya semakin memuncak, semangat Berquinpun semakin
kuat. Dengan memanfaatkan nasihat Erasmus yang menyangkut politik dan
penggunaan waktu, ia berketetapan untuk lebih berani dalam usahanya. Ia bukan
saja berdiri mempertahankan kebenaran, tetapi ia juga akan menyerang kesalahan.
Tuduhan bida'ah yang dituduhkan pengikut Romanisme kepadanya akan balik
dituduhkannya kepada mereka. Lawan-lawannya yang paling giat dan sengit ialah
doktor dan para biarawan dari departemen teologia Universitas Paris yang besar
itu, salah satu pemegang kekuasaan tertinggi gereja baik di kota maupun di
seluruh negara itu. Dari tulisan-tulisan para doktor ini, Berquin menarik 12
dalil yang dinyatakannya secara umum, "bertentangan dengan Alkitab, dan
menyimpang atau bida'ah." Dan ia menghimbau raja untuk bertindak sebagai
hakim dalam pertikaian itu.
Raja,
dengan tidak bosan-bosannya mempertentangkan penguasa dengan penantangnya,
merasa gembira mempunyai kesempatan untuk merendahkan keangkuhan para biarawan
yang sombong itu. Ia meminta agar para pengikut Romanisme mempertahankan
kepentingan mereka berdasarkan Alkitab. Senjata ini, sebagaimana mereka tahu,
hanya sedikit bisa membantu. Penjara, penganiayaan, dan tiang gantungan adalah
senjata-senjata yang mereka tahu cara menggunakannya. Sekarang keadaan sudah
berbalik. Mereka melihat diri mereka hampir jatuh ke dalam lobang yang
sebenarnya mereka harapkan untuk Berquin. Dalam keheranan, mereka mencari jalan
di sekitar mereka untuk meloloskan diri.
"Tepat
pada waktu itu patung Anak Dara (Bunda Maria) yang berada di sudut salah satu
jalan, dirusak orang." Ada kegemparan di kota itu. Orang-orang berkerumun
ke tempat itu dengan sedih bercampur marah. Raja juga turut prihatin. Ini
adalah salah satu keuntungan yang dapat dibalikkan oleh para biarawan menjadi
milik mereka, dan dengan cepat mereka memanfaatkan kejadian ini. "Ini
adalah buah-buah dari doktrin-doktrin Berquin," teriak mereka. "Semua
akan diruntuhkan oleh komplotan Lutheran -- agama, undang-undang, dan bahkan
takhta sendiri." -- Idem, b. 13, ch. 9.
Sekali
lagi Berquin ditahan. Raja mengundurkan diri dari Paris, dan dengan demikian
para biarawan bebas melakukan kemauan mereka. Pembaharu itu diadili dan
dijatuhi hukuman mati. Hukuman mati dilaksanakan hari itu juga, supaya Francis
tidak sempat menyelamatkannya. Pada tengah hari Berquin dibawa ke tempat
pelaksanaan hukuman mati. Orang ramai sekali berkumpul menyaksikan kejadian
itu. Dan banyak yang merasa heran dan sedih melihat bahwa yang menjadi korban
adalah seorang dari keluarga bangsawan Perancis yang terbaik dan paling
pemberani. Keheranan, kemarahan, makian dan kebencian serta dendam kesumat
meliputi wajah orang ramai. Tetapi pada satu wajah tidak ada kemurungan.
Pikiran sang martir atau syuhada itu jauh dari suasana kemurungan dan kekacauan.
Ia menyadari hanya hadirat Tuhannya
Kereta
narapidana yang ditumpanginya, wajah-wajah seram para penganiaya, kematian yang
mengerikan yang akan dijalaninya, -- semua ini tidak dihiraukannya. Ia yang
hidup dan yang telah mati, dan yang telah hidup kembali untuk selama-lamanya,
dan yang mempunyai anak kunci maut dan neraka, ada disampingnya. Wajah Berquin
disinari dengan terang dan kedamaian Surga. Ia mengenakan sendiri pakaian yang
mewah, memakai "satu jubah dari beludru, baju kuno yang terbuat dari satin
dan sutra, dan celana ketat yang berwarna keemasan." -- D'Aubigne,
"History of the Reformation in the Time of Calvin," b. 2, ch. 16. Ia
sudah mau menyaksikan imannya dihadirat Raja segala raja dan alam semesta yang
menyaksikannya, dan tidak ada tanda dukacita yang menodai sukacitanya.
Ketika
arak-arakan bergerak perlahan melalui jalan-jalan yang sudah dipadati orang,
orang-orang merasa heran melihat pembawaannya yang penuh kedamaian yang tidak
terselubung dan sukacita kemenangan. Kata mereka, "Ia seperti seseorang
yang duduk di sebuah kaabah dan merenungkan perkara-perkara suci." --
Wylie, b. 13, ch. 9.
Dari
tiang gantungan, Berquin berusaha menucapkan beberapa perkataan kepada orang
banyak. Tetapi para biarawan, yang takut akan akibatnya, mulai berteriak, dan
para prajurit membentur-benturkan senjata mereka sehingga suara berisik itu
menghilangkan suara sang syuhada. Demikianlah pada tahun 1529 penguasa negara
dan gereja kota Paris yang sudah beradab, "telah memberikan contoh yang
paling buruk kepada penduduk tahun 1793, yang mendiamkan kata-kata suci orang
yang sedang berada di atas panggung hukuman mati." -- Idem, b. 13, ch. 9.
Berquin
dicekik dengan tali, dan tubuhnya hangus dimakan api. Berita kematiannya
menimbulkan dukacita pada sahabat-sahabat Pembaharuan di seluruh Perancis.
Tetapi teladannya tidak hilang. "Kita juga siap," kata saksi-saksi
kebenaran itu, "menghadapi kematian dengan sukacita, menunjukkan pandangan
kita pada kehidupan yang akan datang." -- D'Aubigne, "History of the
Reformation in the Time of Calvin," b. 2, ch. 16.
Selama
penganiayaan di Meaux, guru-guru iman yang diperbaharui itu tidak diizinkan
untuk berkhotbah, dan mereka pergi ke ladang-ladang yang lain. Lefevre kemudian
pergi ke Jerman. Dan Farel kembali ke kota asalnya di bagian Timur Perancis,
untuk menyebarkan terang di tempat masa kanak-kanaknya. Telah diterima kabar
mengenai apa yang terjadi di Meaux, dan kebenaran yang diajarkannya dengan
tidak mengenal rasa takut, mendapat tempat di dalam hati para pendengar. Segera
para penguasa bengkit untuk membungkamkannya, dan ia telah menghilang dari
kota. Walaupun ia tidak bisa lagi bekerja dengan terang-terangan, ia
menjelajahi lembah dan desa-desa mengajar di rumah-rumah tinggal pribadi, dan
di padang-padang terpencil, dan berlindung di hutan-hutan dan di celah-celah
bukit batu yang telah sering dikunjunginya semasa kecilnya. Allah
mempersiapkannya bagi pencobaan yang lebih besar. "Salib-salib,
penganiayaan-penganiayaan dan persekongkolan Setan, yang telah lebih dahulu diamarkan
kepadaku, tidak berkurang," katanya, "bahkan lebih berat dari pada
yang dapat saya tanggung. Tetapi Allah adalah Bapaku, Ia telah memberikan dan
akan terus memberikan kekuatan yang saya perlukan." -- D'Aubigne, b. 12,
ch. 9.
Sebagaimana
pada zaman rasul-rasul, penganiayaan telah "menyebabkan kemajuan
Injil." ( Pilipi 1:12). Diusir dari Paris dan Meaux, "mereka yang
tersebar itu menjelajahi seluruh negeri sambil memberitakan Injil." (Kisah
8:4). Dan demikianlah terang itu memasuki beberapa propinsi-propinsi terpencil
di Perancis.
Allah
masih terus menyediakan pekerja-pekerja untuk meluaskan pekerjaannya. Di salah
satu sekolah di Paris ada seorang pemuda pendiam dan yang penuh perhatian. Ia
telah memperlihatkan kemampuan pikirannya dan kemurnian hidupnya, semangat
intelektualnya dan pengabdian agamanya. Kecerdasannya yang menonjol telah
membuatnya menjadi kebanggaan perguruan tinggi dimana ia kuliah, dan telah
diperkirakan bahwa John Calvin akan menjadi salah seorang pembela gereja yang
paling kuat dan disegani. Akan tetapi sinar terang ilahi menembusi tembok
kependidikan dan ketakhyulan dimana Calvin berada. Ia mendengar ajaran atau
doktrin baru dengan gentar, tanpa ragu-ragu bahwa para bida'ah itu pantas untuk
dibakar. Namun tanpa disengaja ia telah berhadapan muka dengan muka dengan para
bida'ah, dan terpaksa menguji kemampuan teologi Romanisme melawan ajaran
Protestan.
Seorang
keponakan Calvin, yang telah bergabung dengan para Pembaharu, berada di Paris.
Dua orang berkeluarga ini sering bertemu, dan memperbincangkan hal-hal yang
mengganggu Kekristenan. "Hanya ada dua agama di dunia ini," kata
Olivetan, orang Protestan itu. "Salah satu diantaranya ialah agama yang
diciptakan oleh manusia, yang oleh manusia menyelamatkan dirinya melalui
upacara-upacara dan perbuatan-perbuatan baik. Dan yang satu lagi ialah agama
yang dinyatakan di dalam Alkitab, dan yang mengajar manusia untuk mencari
keselamatan yang semata-mata adalah kasih karunia Allah yang diberikan dengan
cuma-cuma."
"Saya
tidak memerlukan ajaran barumu itu," seru Calvin, "apakah kamu pikir
saya telah hidup dalam kesalahan selama hidup saya?" -- Wylie, b. 13, ch.
7.
Tetapi
pikiran telah timbul di benaknya yang tidak bisa dihilangkannya. Dalam
kesendirian di kamarnya, ia merenungkan kata-kata keponakannya itu. Ia percaya
dosa melekat kepadanya. Ia melihat dirinya tanpa perantara, dihadapan Hakim
yang kudus dan adil. Pengantaraan orang-orang saleh, pekerjaan-pekerjaan baik,
upacara-upacara gereja, semuanya tidak berkuasa untuk menghapuskan dosa. Ia
tidak dapat melihat apa-apapun selain keputus-asaan abadi yang menyelubunginya.
Sia-sia segala usaha para doktor gereja untuk menghilangkan kesusahannya.
Pengakuan dosa, penyiksaan diri, semuanya adalah sia-sia. Tidak dapat
memperdamaikan jiwa dengan Allah.
Sementara
bergumul dalam kesia-sian ini, Calvin berkesempatan pergi ke sebuah alun-alun
untuk menyaksikan pembakaran seorang bida'ah. Ia sangat kagum melihat ekspresi
kedamaian yang memenuhi wajah syuhada itu. Di tengah-tengah penyiksaan kematian
yang mengerikan dan hukuman gereja yang menakutkan itu, sang martir atau
syuhada itu menyatakan satu iman dan keberanian, yang bagi mahasiswa muda itu
sulit untuk membandingkan dengan keputus-asaan dan kegelapan dirinya sendiri,
walaupun ia hidup dengan sangat patuh kepada gereja. Ia mengetahui para bida'ah
itu mengalaskan iman mereka kepada Alkitab. Ia bertekad untuk mempelajari Alkitab,
dan menemukan, jika mungkin, rahasia sukacita mereka.
Ia
menemukan Kristus di dalam Alkitab. "O, Bapa," serunya,
"pengorbanan-Nya telah meredakan murka-Mu. Darah-Nya telah mencuci
kekotoranku. Salib-Nya telah menanggung kutukku, dan kematian-Nya telah menebus
aku. Kami telah membuat bagi kami kebodohan yang tidak berguna, tetapi Engkau
telah menempatkan firman-Mu di hadapanku bagaikan obor, dan Engkau telah
menjamah hatiku, agar aku boleh menganggap jasa-jasa lain sebagai kebencian
selain jasa Yesus." -- Martyn, Vol. III, ch. 13.
Calvin
telah dididik untuk menjadi seorang imam. Pada usia yang baru dua belas tahun
ia telah ditugaskan sebagai gembala di jemaat kecil, dan kepalanya dicukur oleh
uskup sesuai dengan peraturan gereja. Ia tidak ditahbiskan dan tidak memenuhi
tugas-tugas seorang imam, tetapi ia menjadi anggota para rohaniawan, dan
memegang jabatan ini serta menerima tunjangan sebagaimana mestinya.
Sekarang,
merasa bahwa ia tidak akan pernah menjadi seorang imam, untuk sementara ia
mempelajari ilmu hukum. Tetapi akhirnya ia meninggalkan niatnya ini dan
membaktikan hidupnya kepada Injil. Tetapi ia tidak mau menjadi guru bagi
masyarakat. Sebagai seorang pemalu, ia dibebani dengan rasa tanggungjawab
jabatan yang berat. Dan oleh sebab itu ia ingin untuk terus belajar. Namun,
atas permohonan sungguh-sungguh sahabat-sahabatnya, akhirnya ia setuju menjadi
guru. "Mengherankan," bahwa seorang yang asalnya hina harus
ditinggikan kepada keagungan." -- Wylie, b. 13, ch. 9.
Ia
memulai pekerjaannya dengan diam-diam, dan kata-katanya bagaikan embun pagi
yang menyegarkan bumi. Ia telah meninggalkan Paris, dan sekarang ia berada di
sebuah kota propinsi di bawah lindungan putri Margaret, yang karena mencintai
Injil, memberikan perlindungan kepada murid-murid Injil itu. Calvin masih
seorang pemuda dengan penampilan lemah lembut dan sederhana, tidak sombong.
Pekerjaannya dimulainya di rumah orang-orang. Dengan dikelilingi oleh anggota
keluarga di rumah itu ia membaca Alkitab, dan membukakan kebenaran keselamatan.
Mereka yang mendengarkan pekabaran itu memberitahukan kabar baik itu kepada
orang-orang lain. Tidak lama kemudian guru Injil itu melewati kota ke kota-kota
kecil dan desa-desa. Ia dapat masuk ke kastel dan gubuk, dan maju terus
meletakkan dasar gereja-gereja yang akan menghasilkan kesaksian-kesaksian tanpa
gentar bagi kebenaran.
Beberapa
bulan kemudian ia kembali ke Paris. Ada hasutan luar biasa di kalangan kaum
terpelajar dan cendekiawan. Pelajaran bahasa-bahasa kuno telah menuntun mereka
kepada Alkitab, dan banyak dari mereka yang hatinya belum dijamah kebenaran,
ingin mendiskusikannya, dan bahkan ada yang menyerang pejabat-pejabat
Romanisme. Calvin, walaupun seorang yang mahir berdebat mengenai pertikaian
teologia, mempunyai misi lain yang hendak dicapai, yang lebih tinggi dari pada
orang-orang pendidikan yang ribut itu. Pikiran orang-orang telah digerakkan,
dan sekaranglah waktunya untuk membukakan kebenaran itu kepada mereka.
Sementara ruangan-ruangan universitas dipenuhi dengan perdebatan masalah
teologia, Calvin bekerja dari rumah ke rumah, membukakan Alkitab kepada
orang-orang, dan berbicara kepada mereka dari hal Kristus dan penyaliban-Nya.
Dengan
pertolongan Tuhan, Paris menerima undangan lain untuk menerima Injil. Panggilan
Lefevre dan Farel telah ditolak, tetapi sekali lagi pekabaran ini akan
didengarkan oleh semua kalangan masyarakat di ibukota yang besar itu. Raja,
yang dipengaruhi pertimbangan-pertimbangan politik, belum sepenuhnya memihak
Roma melawan Pembaharuan. Putri Margaret masih mengharapkan agar Protestantisme
menang di Perancis. Ia memutuskan agar iman yang diperbaharui itu dikhotbahkan
di Paris. Pada waktu raja tidak ada, ia memerintahkan seorang pendeta Protestan
berkhotbah di gereja-gereja di kota itu. Sebenarnya hal itu dilarang oleh
pejabat-pejabat kepausan, tetapi ia, putri, membukakan istana. Sebuah apartemen
dibuat sebagai kapel, dan diumumkan bahwa setiap hari pada jam-jam tertentu,
sebuah khotbah akan dikhotbahkan, dan orang-orang dari semua golongan diundang
untuk mengikutinya. Orang banyak memadati kebaktian itu. Bukan hanya kapel itu,
juga ruang di depannya dan gang-gang telah dipadati. Ribuan orang berkumpul
setiap hari -- para bangsawan, negarawan, ahli-ahli hukum, pedagang dan para
pekerja. Sebagai gantinya melarang perkumpulan itu, raja memerintahkan agar dua
gereja di Paris dibuka. Belum pernah sebelumnya kota itu digerakkan oleh firman
Allah seperti itu. Roh kehidupan dari Surga tampaknya diturunkan kepada
orang-orang. Penahanan diri atau pertarakan, kesucian, keteraturan dan
kerajinan telah menggantikan kemabukan, ketidak-bermoralan, perbantahan dan
kemalasan.
Akan
tetapi hirarki tidak tinggal diam. Oleh karena raja masih tetap menolak untuk
menghentikan pengkhotbahan, maka mereka berbalik kepada penduduk. Segala usaha
dilakukan untuk menimbulkan ketakutan, prasangka buruk dan kefanatikan orang
banyak yang masih bodoh dan percaya ketakhyulan. Secara membabi buta percaya
kepada guru-guru palsu, seperti Yerusalem pada zaman dahulu, Paris tidak menyadari
bencana atau hal-hal yang menjadi kedamaiannya. Selama dua tahun lamanya firman
Allah dikhotbahkan di ibukota ini. Tetapi sementara banyak yang menerima Injil,
kebanyakan orang masih menolaknya. Francis menunjukkan rasa toleransinya,
semata-mata hanya untuk kepentingan maksud-maksudnya, dan para pengikut
kepausan berhasil memperoleh kembali kekuasaannya. Sekali lagi gereja-gereja
ditutup, dan tiang gantungan didirikan.
Calvin
masih di Paris, mempersiapkan diri dengan belajar, bermeditasi dan berdoa demi
pekerjaannya dikemudian hari, dan meneruskan menyebarkan terang kebenaran.
Namun, akhirnya ia dicurigai juga. Para penguasa memutuskan untuk membakarnya.
Ia tidak menyadari bahaya yang mengancamnya di tempat persembunyiannya.
Sahabat-sahabatnya bergegas kekamarnya menemuinya dengan membawa kabar bahwa
pejabat-pejabat penguasa sedang menuju ke tempatnya untuk menangkapnya.
Seketika itu juga ketokan keras terdengar di pintu luar. Tak sesaatpun yang
bisa disia-siakan. Sebahagian sahabat-sahabatnya menahan para pejabat penguasa
itu di pintu, sementara yang lain menolong Pembaharu itu keluar dari jendela
dan segera melarikan diri ke luar kota. Ia berlindung di pondok seorang pekerja
yang menjadi teman pembaharuan. Ia menyamar dengan memakai jubah pekerja itu
dan sambil menyandang cangkul ia meneruskan perjalanannya. Ia berjalan menuju
Selatan dan mendapat perlindungan di tempat Putri Margaret. -- Lihat D'Aubigne,
"History of the Reformation in the Time of Calvin," b. 2, ch. 30.
Ia
tinggal beberapa bulan di sini, aman dalam perlindungan teman-temannya yang
kuat, dan seperti sebelumnya menyibukkan diri dengan belajar. Tetapi hatinya
sudah terpaut dengan evangelisasi Perancis, sehingga ia tidak bisa berlama-lama
tidak aktif. Segera setelah badai amarah mulai reda, ia mencari ladang baru di
Poitiers, dimana ada satu universitas, dan dimana pendapat baru telah mendapat
perhatian. Orang-orang dan semua golongan mendengarkan Injil itu dengan
sukacita. Tidak diadakan ceramah umum. Tetapi Calvin membukakan firman hidup
kekal itu kepada mereka yang ingin mendengarkan di rumah hakim ketua, di tempat
penginapannya dan kadang-kadang di taman kota. Pada suatu hari, pada waktu
pendengar semakin bertambah, dirasakan akan lebih aman jika mereka berkumpul di
luar kota. Maka dipilihlah sebuah gua ditepi sebauh jurang yang dalam, yang
ditumbuhi pepohonan dan ada batu-batu bergantung menjadi tempat berkumpul
terpencil yang aman. Mereka meninggalkan kota dalam kelompok-kelompok kecil
dengan jurusan yang berbeda menuju tempat ini. Di tempat tersembunyi inilah
Alkitab dibacakan dan diterangkan. Di tempat ini jugalah perjamuan kudus Tuhan
dirayakan pertama kali oleh orang-orang Protestan Perancis. Dari jemaat kecil
inilah beberapa pemberita Injil diutus keluar.
Sekali
lagi Calvin kembali ke kota Paris. Ia belum putus asa bahwa Perancis sebagai
bangsa, akan menerima Pembaharuan. Tetapi ia mendapati semua pintu untuk
pembaharuan tertutup. Mengajarkan Injil disana berarti mengambil jalan pintas
menuju tiang gantungan. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke Jerman. Tidak
mungkin ia meninggalkan Perancis pada waktu badai kesusahan melanda orang-orang
Protestan, yang kalau ia tinggal, pasti terlibat dalam kencuran.
Para
Pembaharu Perancis ingin melihat negerinya sejajar dengan Jerman dan Swis, lalu
memutuskan untuk menyerang ketakhyulan Roma dengan membangkitkan seluruh bangsa
itu. Pada suatu malam selebaran-selebaran yang menyerang upacara misa kudus
telah ditempelkan di seluruh Peancis. Gantinya memajukan Pembaharuan, gerakan
yang bersemangat tetapi kurang pertimbangan ini justrus membawa kehancuran
bukan saja kepada para pencetus gerakan, tetapi juga kepada semua
sahabat-sahabat iman yang telah dibaharui di seluruh Perancis. Gerakan itu
memberikan kepada para pengikut Roma apa yang telah lama diidam-idamkannya --
alasan yang dibuat-buat untuk membinasakan para bida'ah sebagai penghasut yang
membahayakan kestabilan takhta kerajan dan perdamaian bangsa.
Salah
satu selebaran itu telah ditempelkan di pintu ruang pribadi raja oleh orang
yang tidak diketahui, apakah oleh teman atau musuh yang mau mendiskreditkan
para pembaharu tidak diketahui dengan pasti. Raja menjadi sangat ketakutan.
Dalam selebaran itu, ketakhyulan yang telah dihormati selama berabad-abad
lamanya, diserang dengan gencarnya. Raja sangat murka karena keberanian orang
memasuki daerah istana dan menempelkan selebaran itu. Dalam keheranannya ia
berdiri sejenak gemetar tanpa bicara. Kemudian amarahnya meluap dengan
kata-kata beikut ini, "Tangkap semua orang tanpa kecuali yang dicurigai
sebagai pengikut Lutherisme. Saya akan membinasakan mereka semua."
D'Aubigne, "History of the Reformation in the Time of Calvin," b. 4,
ch. 10. Dadu telah dilemparkan. Raja telah menentukan dirinya sepenuhnya berada
di pihat Roma.
Usaha-usaha
segera dilakukan untuk menangkap semua pengikut Luther di Paris. Seorang
pekerja yang miskin pengikut iman yang diperbaharui, yang biasa memanggil
orang-orang percaya ke perkumpulan rahasia mereka, telah ditangkap dan diancam
dengan hukuman mati di tiang gantungan waktu itu juga, diperintahkan untuk
menuntun pesuruh-pesuruh kepausan ke rumah-rumah orang-orang Protestan di kota
itu. Ia terkejut mendengar maksud jahat itu, tetapi ketakutan akan nyala api
menguasai dirinya, lalu setuju menjadi pengkhianat saudara-saudaranya. Dengan
didahului oleh sejumlah besar orang, dan dikelilingi oleh serombongan imam,
pembawa dupa, para biarawan dan tentara, Morin, detektif kerajaan bersama
pengkhianat, dengan perlahan-lahan dan dengan tenang melalui jalan-jalan kota.
Pertunjukan ini adalah pura-pura menghormati "sakramen kudus", suatu
pemulihan kepada penghinaan yang dilontarkan para pemrotes kepada upacara misa.
Tetapi di balik pertunjukan itu tersembunyi maksud jahat. Pada waktu tiba
bertepatan dengan rumah seorang pengikut Luther, pengkhianat itu memberi tanda
tanpa berkata apa-apa. Rombongan pawai itu berhenti, rumah itu dimasuki, dan
keluarga penghuninya diseret keluar dan dirantai, dan begitulah rombongan
manusia kejam itu maju terus mencari mangsanya. Mereka "tidak melewatkan
satu rumahpun, besar atau kecil, perguruan tinggi-perguruan tinggi Universitas
Parispun tidak . . . . Morin menggoncangkan seluruh kota . . . . Benar-benar
suatu teror." -- Idem, b. 4, ch. 10.
Para
korban dihukum mati dengan siksaan kejam. Secara khusus diperintahkan agar api
dikecilkan untuk memperpanjang penderitaan mereka. Tetapi mereka mati sebagai
penakluk atau pemenang. Ketetapan hati mereka tak tergoyahkan, kedamaian mereka
tidak dapat ditutupi. Para penganiaya, yang tak mampu menggoyahkan hati mereka,
merasa dikalahkan. "Tiang-tiang gantungan dibagikan ke segenap bagian kota
Paris, dan pembakaran berlangsung pada hari berikutnya. Tujuannya untuk
menyebarkan tempat pelaksanaan hukuman mati itu ialah untuk menteror para
bida'ah. Namun, pada akhirnya mendatangkan kemajuan bagi pekabaran Injil.
Seluruh Paris dapat melihat manusia yang bagaimanakah yang dihasilkan oleh
pandangan baru itu. Tidak ada mimbar seperti tumpukan para syuhada itu.
Sukacita yang damai yang menerangi wajah-wajah orang ini sementara mereka
melewati . . . ke tempat pelaksanaan hukuman mati, keperkasaan mereka sementara
berdiri di tengah-tengah api yang menyala-nyala, kerendahan hati mereka untuk
mengampuni sekalipun mereka disakiti, mengubahkan tidak sedikit pada waktu itu
kemarahan menjadi belas kasihan, kebencian menjadi kasih sayang, dan kata-kata
pembelaan dengan kemahiran berbicara yang tidak bisa disangkal demi kepentingan
Injil." -- Wylie, b. 13, ch. 20.
Untuk
menjaga kemarahan umum tetap memuncak, imam-imam mengedarkan tuduhan paling keji
terhadap Protestan. Mereka dituduh berkomplot mengadakan pembunuhan masal
orang-orang Katolik, menggulingkan pemerintahan dan membunuh raja. Tak secercah
buktipun yang dapat menguatkan tuduhan itu. Meskipun demikian nubuatan
kejahatan ini harus digenapi, tetapi dengan keadaan yang sangat berbeda dan
dengan alasan yang sangat bertentangan. Kekejaman yang dilakukan kepada
orang-orang Protestan yang tidak bersalah itu oleh orang-orang Katolik semakin
memuncak sebagai hukuman dan pembalasan. Dan pada abad-abad selanjutnya terjadi
malapetaka yang diramalkan akan terjadi terhadap raja, pemerintahannya dan
rakyatnya. Tetapi semuanya itu dilakukan oleh orang-orang kafir dan oleh
pengikut kepausan sendiri. Ini tidak berarti pembentukan Protestan, tetapi
penindasan, yang tiga abad kemudian mendatangkan malapetaka besar bagi
Perancis.
Kecurigaan,
ketidak percayaan dan teror sekarang melanda seluruh lapisan masyarakat. Di
tengah-tengah ketakutan umum terlihat betapa dalamnya masuk ajaran Lutheran ke
dalam pikiran orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang berpengaruh dan yang
bertabiat baik. Posisi kepercayaan dan kehormatan kosong seketika. Para
pekerja, pencetak, kaum cendekiawan, profesi di universitas, pengarang, dan
bahkan pegawai tinggi istana, menghilang. Ratusan orang melarikan diri dari
Paris, mengasingkan diri dari negerinya. Dalam berbagai kasus hal ini
memberikan isyarat pertama bahwa mereka menyukai iman yang dibaharui itu. Para
pengikut kepausan memandang mereka dengan kekerasan, memikirkan orang-orang bida'ah
yang tidak mereka duga telah diterima di antara mereka. Mereka melampiaskan
nafsu kemarahan mereka kepada banyak korban yang lebih rendah yang dalam
jangkauan kekuasaan mereka. Penjara-penjara penuh sesak, dan udara tampaknya
digelapkan oleh asap pembakaran yang dinyalakan bagi mereka yang mengakui
Injil.
Francis
I merasa bangga sebagai pemimpin gerakan besar untuk kebangkitan kembali
pendidikan yang menandai permulaan abad ke enam belas. Ia bergembira
mengumpulkan di istananya para sasterawan dari setiap negeri. Oleh karena
kecintaannya kepada pendidikan dan kebenciannya kepada kebodohan dan
ketakhyulan para biarawan telah tiba waktunya, paling sedikit sebagian,
memberikan tingkat toleransi kepada pembaharuan. Tetapi, diilhami oleh semangat
untuk menumpas para bida'ah, pelindung pendidikan ini mengeluarkan sebuah
keputusan untuk menghapuskan semua percetakan di seluruh Perancis. Francis I
memberikan salah satu dari sekian banyak contoh catatan yang menunjukkan bahwa
kebudayaan intelektual bukanlah jaminan yang aman bagi perlawanan terhadap
sikap tidak toleran beragama dan penganiayaan.
Perancis
merencanakan akan mengadakan satu upacara umum yang khidmat untuk membulatkan
tekad melenyapkan Protestantisme sepenuhnya. Imam-imam menuntut, penghinaan
yang dilontarkan kepada Surga Yang Mahatinggi dengan mengutuk upacara misa,
agar ditebus dengan darah, dan agar raja, atas nama paus, memberikan sanksinya
secara terbuka kepada pekerjaan yang menakutkan itu.
Maka
ditentukanlah tanggal 21 Januari 1535 tanggal penyelenggaraan upacara itu. Rasa
rakut ketakhyulan dan dendam kesumat seluruh bangsa itu telah dibangkitkan.
Kota Paris dipadati orang-orang negeri sekitarnya memenuhi jalan-jalannya.
Datangnya hari itu disambut dengan sebuah arak-arakan besar yang menakjubkan.
"Dari rumah yang ada di sepanjang jalan yang dilalui barisan arak-arakan
bergelantungan kain lambang kedukaan, dan mezbah-mezbah dibangun
berselang-seling." Di depan setiap pintu ditempatkan sebuah obor yang
sedang menyala sebagai tanda penghormatan kepada "upacara kudus" itu.
Sebelum matahari terbit, arak-arakan itu telah disiapkan di istana raja.
"Di baris depan terdapat bendera-bendera dan salib-salib dari beberapa
gereja, kemudian nampak penduduk yang berjalan berdua-dua sambil membawa
obor." Kemudian menyusul keempat ordo biarawan, masing-masing dengan
pakaian mereka yang khas. Lalu menyusul koleksi benda-benda peninggalan masa
lalu. Sesudah ini menyusul rohaniawan dengan jubah merah dan ungu dengan
perhiasan permata yang berkilau-kilauan.
"Roti
ekaristi dibawa oleh uskup Paris yang ditutupi dengan tudung yang megah, . . .
ditopang oleh empat orang pangeran upacara berdarah . . . . Di belakang roti
itu berjalan raja . . . . Francis I pada hari itu tidak mengenakan mahkota,
atau jubah kenegaraan." Dengan "kepala yang terbuka, matanya melihat
ke tanah, dan tangannya memegang lilin yang sedang menyala," raja Perancis
itu tampak "seperti seorang berdosa yang bertobat." -- Wylie, b. 13,
ch. 21. Di setiap mezbah ia tunduk merendahkan diri, bukan bagi dosa-dosanya
yang mencemarkan jiwanya atau darah orang-orang yang tidak bersalah yang
mengotori tangannya, tetapi bagi dosa rakyatnya yang berani mencela upacara
misa. Dibelakangnya menyusul ratu dan pejabat-pejabat tinggi negara, yang
berjalan berdua-dua, masing-masing membawa obor yang menyala.
Sebagai
bagian dari upacara hari itu, raja sendiri memberi amanat kepada
pejabat-pejabat tinggi kerajaan di ruangan besar istana keuskupan. Dengan muka
sedih ia tampil di depan mereka, dan dengan kata-kata yang lancar ia meratap,
"kejahatan, penghujatan, hari kedukaan dan memalukan," telah datang
menimpa bangsa ini. Dan ia menghimbau semua rakyat yang setia untuk membantu
membasmi bida'ah yang mengancam kehancuran Perancis. "Tuan-tuan,
sebagaimana sebenarnya saya adalah rajamu," katanya, "jikalau saya
tahu salah satu anggota tubuhku diketahui ternoda atau terinfeksi dengan
kebusukan, saya akan menyerahkannya kepadamu untuk dipotong . . . . Dan lebih
jauh, jika saya melihat salah seorang anak saya tercemar olehnya, saya tidak
akan menyayangkannya . . . . Saya akan menyerahkannya dan mengorbankannya
kepada Allah." Air matanya menyumbat kata-katanya, dan seluruh hadirin
menangis, dan dengan suara bulat berseru, "Kami mau hidup dan mati demi
agama Katolik!" -- D'Aubigne, "History of the Reformation in the Time
of Calvin," b. 4, ch. 12.
Kengerian
menutupi bangsa yang menolak terang kebenaran. "Kasih karunia yang membawa
keselamatan" telah tampak; tetapi Perancis, setelah memandang kuasa dan
kesuciannya, setelah beribu-ribu orang yang telah ditarik oleh keelokan ilahi,
setelah kota-kota dan desa-desa diterangi oleh sinarnya, telah meninggalkan dan
memilih kegelapan lebih dari pada terang. Mereka telah menolak karunia Surgawi
yang ditawarkan kepada mereka. Mereka telah mengatakan yang jahat itu baik, dan
yang baik itu jahat, sampai mereka jatuh menjadi korban penipuan diri sendiri.
Sekarang, walaupun mungkin mereka percaya bahwa mereka sedang melakukan
pekerjaan Allah dalam menyiksa umat-umat-Nya, namun kesungguh-sungguhan mereka itu
tidak membuat mereka tidak bersalah. Mereka telah dengan sengaja menolak terang
yang akan menyelamatkan mereka dari penipuan, dari penodaan jiwa mereka dengan
dosa penumpahan darah.
Mereka
telah bersumpah untuk menumpas bida'ah di katedral yang besar, dimana hampir
tiga abad kemudian, "Dewi Pemikir" akan dinobatkan bangsa itu yang
telah menolak Allah yang hidup. Sekali lagi arak-arakan dibentuk dan utusn
Perancis pergi memulai pekerjaan yang mereka telah bersumpah untuk
melakukannya. "Tiang-tiang gantungan didirikan dalam jarak yang
berdekatan, tempat membakar hidup-hidup orang-orang Kristen Protestan tertentu.
Dan telah diatur, agar tumpukan kayu api dinyalakan pada waktu raja mendekat,
dan arak-arakan harus berhenti meyaksikan pelaksanaan hukuman mati itu."
-- Wylie, b. 13, ch. 21. Rincian penganiayaan yang ditanggung oleh saksi-saksi
Kristus itu terlalu ngeri untuk diceriterakan kembali, tetapi para korban itu
sedikitpun tidak goyah. Pada waktu didorong untuk menarik kembali imannya,
seseorang justeru berkata, "Saya hanya percaya pada apa yang dahulu
dikhotbahkan oleh para nabi dan rasul-rasul, dan apa yang persekutuan semua
orang-orang saleh percayai. Imanku percaya pada Allah yang akan melawan semua
kuasa neraka." -- D'Aubigne, "History of the Reformation in the Time
of Calvin," b. 4, ch. 12.
Berulang-ulang
arak-arakan itu berhenti di tempat-tempat penganiayaan. Setelah kembali di
istana raja darimana arak-arakan itu dimulai, orang-orang ramai itu membubarkan
diri, dan raja serta para pejabat tinggi agama pulang, merasa puas dengan
pekerjaan hari itu, dan mengucapkan selamat kepada mereka sendiri, dan bahwa
pekerjaan yang sekarang dimulai akan diteruskan sampai selesai pembasmian para
bida'ah itu.
Injil
perdamaian yang telah ditolak oleh Perancis cepat atau lambat pasti akan
tercabut, dan akibatnya sungguh mengerikan. Pada tanggal 21 Januari 1793, dua
ratus lima puluh delapan tahun sesudah Perancis bersumpah untuk menganiaya para
Pembaharu, arak-arakan lain melintasi jalan-jalan kota Paris, dengan tujuan
yang sangat berbeda. "Sekali lagi raja menjadi figur utama. Sekali lagi
ada kegaduhan dan teriakan. Sekali lagi terdengar teriakan mencari lebih banyak
mangsa atau korban. Sekali lagi ada tiang-tiang gantungan atau panggung. Dan
sekali lagi pemandangan hari itu ditutup dengan pelaksanaan hukuman yang
mengerikan. Louis XVI, yang berjuang melawan para penjaga penjara dan para
pelaksana hukuman, diseret ke tempat pelaksanaan hukuman, dan di sini ia dipegangi
dengan kuat sampai kampak dijatuhkan memotong lehernya, dan kepalanya yang
sudah terpisah dari badan itu bergulir dari atas panggung pelaksanaan
hukuman." -- Wylie, b. 13, ch. 21. Bukan hanya raja yang menjadi korban.
Didekat tempat yang sama dua ribu delapan ratus orang anak manusia dibinasakan
dengan pisau gulotin (alat pemenggal) selama hari-hari berdarah Pemerintahan
Teror itu.
Pembaharuan
telah menjanjikan kepada dunia ini Alkitab yang terbuka, membukakan
ajaran-ajaran hukum Allah, dan mendorong hati nurani manusia. Kasih yang
Takterbatas itu telah membukakan kepada manusia ketetapan-ketetapan dan
prinsip-prinsip Surga. Allah telah bersabda, "Lakukanlah itu dengan setia,
sebab itulah yang menjadi kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa
yang pada waktu mendengar segala ketetapan ini akan berkata: Memang bangsa yang
besar ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi." (Ulangan 4:6).
Pada waktu Perancis menolak karunia Surga, ia menaburkan bibit anarki dan
kebinasaan. Dan sebagai sebab dan akibatnya adalah Revolusi dan Pemerintahan
Teror.
Lama
sebelum penganiayaan dibangkitkan oleh selebaran-selebara itu, Farel,
sipemberani dan yang rajin telah melarikan diri dari tanah kelahirannya. Ia
pergi ke Swis, dan dengan usahanya ia meneruskan usaha Zwingle. Ia membantu
majunya gerakan Pembaharuan. Ia menggunakan waktunya selanjutnya di sini, namun
ia terus memberikan pengaruh yang menentukan kepada Pembaharuan di Perancis.
Pada tahun pertama pengasingannya, usaha-usaha secara khusus ditujukan kepada
peyebaran Injil di tanah airnya. Ia menggunakan banyak waktu berkhotbah kepada
teman-teman senegaranya dekat perbatasan, dimana dengan kewaspadaan yang tinggi
ia memperhtikan pertentangan itu, dan membantu mereka dengan kata-kata dorongan
dan nasihat. Dengan bantuan orang-rang yang diasingkan lainnya, tulisan-tulisan
para Pembaharu Jerman diterjemahkan kedalam bahasa Perancis, dan bersama-sam
dengan Alkitab bahasa Perancis dicetak dalam jumlah yang besar. Buku-buku atau
tulisan-tulisan ini dijual secara luas di Perancis oleh para kolportir.
Buku-buku itu dijual dengan harga yang lebih rendah kepada para kolportir,
sehingga denga keuntungan pekerjaan mereka sanggup meneruska penyebaran
buku-buku itu.
Farel
memulai pekerjaannya di Swis dengan menyamar sebagai guru sekolah yang
sederhana. Ia pergi ke salah satu gereja yang terpencil, dan di sanalah ia
membaktikan dirinya mengajar anak-anak. Selain mata pelajaran yang biasa,
dengan hati-hati ia memperkenalkan kebenaran Alkitab, dengan harapan melalui
anak-anaknya dapat menjangkau orang-orang tua. Ada beberapa orang yang percaya,
tetapi imam-imam segera datang untuk menghentikan kegiatan itu, dan orang-orang
yang masih percaya kepada ketakhyulan bangkit menentangnya. "Tidak mungkin
ini Injil Kristus," desak para imam, "karena dengan mengkhotbahkannya
tidak membawa damai, melainkan perang." -- Wylie, b. 14, ch. 3.
Sebagaimana murid-murid yang mula-mula, bilamana dianiaya di suatu kota ia
pergi ke kota lain. Dari desa ke desa, dari kota ke kota, ia pergi berjalan
kaki menahan lapar, dingin dan keletihan, dan dimana-mana hidupnya terancam
bahaya. Ia berkhotbah di pasar-pasar, di gereja-gereja, kadang-kadang di mimbar
katedral. Kadang-kadang ia mendapati gereja itu kosong tanpa pendengar. Suatu
waktu khotbahnya diganggu dengan teriakan dan cemoohan. Untuk kesekian kalinya
ia diseret dengan kasar dari mimbar. Lebih dari sekali ia diserang orang
gembel, dan dipukuli hampir mati. Namun, ia terus maju. Walaupun ia sering
ditolak, tetapi dengan tidak mengenal lelah ia datang kembali. Ia melihat
kota-kota kecil dan besar yang menjadi benteng kepausan, satu persatu membuka
pintu gerbangnya bagi kabar Injil. Gereja kecil, dimana ia pertama sekali
bekerja, tidak lama kemudian menerima iman yang dibaharui itu. Kota-kota Morat
dan Neuchatel juga menolak upacara-upacara Romawi, dan membuangkan
patung-patung berhala dari gereja-gereja mereka.
Farel
sudah sejak lama ingin menanamkan standar Protestan di Geneva. Jika sekiranya
kota ini bisa dimenangkan, kota ini akan menjadi pusat Pembaharuan di Perancis,
Swis dan Italia. Dengan pemikiran ini di benaknya, ia meneruskan pekerjaannya,
sehingga banyak kota-kota dan desa-desa disekitarnya telah dimenangkan.
Kemudian, bersama seorang teman, ia memasuki kota Geneva. Tetapi hanya dua
khotbah yang diizinkn dikhotbahkan. Karena gagal berusaha menghukumnya melalui
penguasa sipil, imam-imam memanggilnya menghadap majelis rohaniawan. Mereka
datang ke majelis itu dengan membawa senjata yang disembunyikan di balik
jubahnya. Mereka bermaksud untuk menghabisi nyawanya. Di luar gedung,
segerombolan rakyat yang mengamuk dengan membawa pemukul dan pedang telah
menanti untuk membunuhnya, jika seandainya ia berhasil melarikan diri dari
majelis itu. Akan tetapi, kehadiran para hakim dan tentara di dalam majelis
menyelamatkan nyawanya. Besoknya pagi-pagi benar ia bersama temannya dituntun
melalui danau ke tempat yang aman. Dengan demikian berakhirlah usahanya yang
pertama untuk memberitakan Injil di Geneva.
Pada
usaha berikutnya, dipilih alat yang lebih sederhana -- seorang pemuda yang
berpenampilan sederhana, sehingga ia disambut dingin bahkan oleh mereka yang
mengaku sahabat-sahabat pembaharuan. Tetapi apalah yang bisa dilakukan oleh
orang yang seperti itu, dimana Farelpun sudah ditolak? Bagaimanakah mungkin seorang
yang kurang berani dan kurang pengalaman dapat menahan topan dimana seorang
yang paling berani dan paling kuat sekalipun telah terpaksa melarikan diri?
"Bukan dengan keperkasaan, dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan
roh-Ku, firman Tuhan semesta alam."( Zakaria 4:6). "Apa yang lemah
bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan yang kuat." "Sebab yang
bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada manusia, dan yang lemah dari
Allah lebih kuat daripada manusia." (1 Kor. 1: 27, 25).
Froment
memulai pekerjannya sebagai guru sekolah. Kebenaran yang diajarkannya kepada
murid-murid di sekolah, diulangi oleh murid-murid itu di rumah mereka. Tidak
lama kemudian para orang tua datang untuk mendengarkan Alkitab diterangkan,
sehingga ruang kelas penuh dengan pendengar-pendengar yang aktif. Buku
Perjanjian Baru dan risalah-risalah dibagikan dengan cuma-cuma, bahkan sampai
juga kepada orang-orang yang tidak berani datang dengan terang-terangan untuk
mendengarkan ajaran baru itu. Tidak lama kemudian pekerja inipun terpaksa juga
melrikan diri. Tetapi kebenaran yang diajarkannya telah mengambil tempat dalam
pikiran orang-orang. Pembaharuan (Reformasi) sudah ditanamkan dan terus semakin
kuat dan semakin meluas. Para pengkhotbah kembali ke Geneva, dan melalui usaha-usaha
mereka akhirnya perbaktian Protestan ditetapkan di Geneva.
Kota
itu telah dinyatakan bagi Pembaharuan pada waktu Calvin memasuki pintu
gerbangnya, setelah melalui berbagai pengembaraan dan perubahan. Waktu kembali
dari kunjungannya yang terakhir ke tempat kelahirannya, ia pergi ke Basel.
Ketika didapatinya jalan yang langsung diduduki oleh tentara Charles V, ia
terpaks mengambil jalan keliling melalui Geneva.
Dalam
kunjungan ini, Farel menyadari pertolongan tangan Allah. Meskipun Geneva telah
menerima iman yang dibaharui, namun pekerjaan besar masih harus dilakukan
disana. Bukan sebagai masyarakat, tetapi sebagai perorangan orang-orang
ditobatkan kepada Allah. Pekerjaan regenerasi atau pembaharuan hidup harus
dilaksanakan di dalam hati dan dalam hati nurani seseorang oleh karena kuasa
Roh Kudus, bukan oleh dekrit-dekrit konsili. Sementara orang-orang di Geneva
telah meninggalkan kekuasaan Roma, mereka belum begitu bersedia untuk
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang tumbuh subur dibawah kekuasaannya.
Untuk mendirikan prinsip-prinsip Injil yang murni disini, dan untuk
mempersiapkan orang-orang ini mengisi kedudukan mulia kepada mana Allah
tampaknya memanggil mereka, bukanlah suatu tugas yang mudah.
Farel
yakin bahwa ia telah menemukan Calvin sebagai seorang yang bisa bersatu dengan
dia untuk melakukan pekerjaan ini. Dalam nama Allah, ia memohon dengan
sungguh-sungguh agar evangelis muda itu tinggal dan bekerja di situ. Calvin
mengundurkan diri dengan ketakutan. Sebagai seorang pemalu dan yang cinta damai,
ia takut berhubungan dengan orang-orang Geneva yang pemberani, yang bebas, dan
bahkan yang mempunyai semangat yang keras. Kesehatannya yang buruk, ditambah
dengan kebiasaannya yang rajin belajar, membuat ia mencari tempat untuk
mengasingkan diri. Percaya bahwa melalui tulisan-tulisannya ia bisa melayani
pekerjaan pembaharuan itu, ia ingin mendapatkan satu tempat retrit yang tenang
untuk belajar. Di sana, melalui percetakan, ia mengajar dan membangun
gereja-gereja. Tetapi nasihat Farel yang datang kepadanya sebagai satu
panggilan dari Surga, ia tidak berani menolaknya. Tampaknya kepadanya, katanya,
"bahwa tangan Allah direntangkan dari Surga, dan memegangnya, dan
menetapkannya tanpa bisa dibantah ke tempat kemana ia akan pergi." --
D'Aubigne, "History of the Reformatin in the Time of Calvin," b. 9,
ch. 17.
Pada
waktu ini pekerjaan dan kepentingan Protestan diliputi oleh bahaya besar.
Kutukan paus menggeledek terhadap Geneva, dan bangsa-bangsa yang kuat itu
mengancam untuk membinasakan. Bagaimana mungkin kota kecil ini dapat menahan
hirarki yang begitu kuat yang telah sering memaksa raja-raja dan kaisar-kaisar
untuk tunduk? Bagaimana mungkin ia bisa bertahan melawan tentara dari penakluk
besar dunia?
Sepanjang
sejarah Kekristenan, Protestantisme diancam oleh musuh-musuh yang menakutkan.
Kemenangan pertama Pembaharuan berlalu. Roma membentuk pasukan baru, dengan
harapan agar dapat membinasakan musuh-musuhnya. Pada waktu ini ordo Yesuit
dibentuk, pembela-pembela kepausan yang paling kejam, yang bertindak semaunya
dan sangat berkuasa. Mereka terputus dengan ikatan duniawi dan kepentingan
manusia, mati terhadap kasih sayang alami. Pertimbangan dan suara hati nurani
telah dibungkemkan seluruhnya. Mereka tidak mengenal aturan, tidak ada ikatan,
kecuali dengan ordonya sendiri. Dan tidak ada tugas-tugas lain selain yang
berhubungan dengan ordonya sendiri. -- Lihat Lampiran. Injil Kristus telah
menyanggupkan pengikut-pengikutnya untuk menghadapi bahaya dan menanggung
penderitaan, tidak cemas menahan dingin, kelaparan, kerja keras dan kemiskinan,
untuk meninggikan panji-panji kebenaran di atas para-para, di penjara bawah
tanah dan di atas tiang pembakaran. Untuk melawan kekuatan ini, Yesuitisme
mengilhami pengikut-pengikutnya dengan fanatisisme yang menyanggupkan mereka untuk
menahan bahaya-bahaya dan menentang kuasa kebenaran dengan segala senjata
penipuan. Tidak ada kejahatan yang terlalu besar untuk mereka lakukan, tidak
ada penipuan yang terlalu keji merendahkan martabat untuk dilaksanakan, dan
tidak ada penyamaran yang terlalu sukar untuk dikerjakan. Berjanji untuk terus
menerus miskin dan hina, tujuan pelajaran mereka adalah mengumpulkan harta dan
kuasa, dan bertekad untuk menggulingkan Protestantisme, dan mendirikan kembali
supremasi kepausan.
Bilamana
mereka tampil sebagai anggota ordonya, mereka memakai pakaian jubah kesalehan;
mengunjungi penjara-penjara dan rumah-rumah sakit, melayani orang-orang sakit
dan orang-orang miskin, mengaku sudah meninggalkan keduniawian, dan membawa
nama Yesus yang kudus pergi melakukan kebajikan. Akan tetapi di balik
penampilan luar yang tidak bercela ini sering tersembunyi maksud-maksud yang
paling jahat dan paling mematikan. Adalah prinsip dasar dari ordo ini bahwa
tujuan menghalalkan segala cara. Dengan kode atau prinsip ini, berdusta,
mencuri, bersumpah palsu, dan membunuh, bukan saja bisa diampuni, tetapi patut
dihargai, bilamana dilaksanakan demi kepentingan gereja. Dengan berbagai
penyamaran mereka berhasil menduduki jabatan-jabatan pemerintahan negara,
menjadi penasihat raja-raja dan membentuk kebijakan-kebijakan negara. Mereka
menjadi hamba untuk memata-matai tuan mereka. Mereka mendirikan
perguruan-perguruan tinggi untuk para bangsawan, dan sekolah-sekolah bagi
rakyat jelata. Dan anak-anak orangtua pengikut Protestan diharuskan untuk
mengikuti upacara-upacara kepausan. Semua kemegahan penampilan luar dan seragam
perbaktian Romawi dilakukan untuk membingungkan pikiran dan untuk mempesona dan
memikat imaginasi. Dengan demikian kebenaran yang diperjuangkan oleh orangtua
dengan susah payah telah dikhianati oleh anak-anak mereka. Dalam wktu yang
singkat kaum Yesuit telah menyebar ke seluruh Eropa, dan kemana saja mereka
pergi maka kebangkitan kembali kepausan terjadi di tempat itu.
Untuk
memberikan wewenang yang lebih besar kepada mereka, maka paus mengeluarkan satu
perintah resmi untuk membentuk kembali lembaga Pemeriksaan (Inquisition) (Lihat
Lampiran). Walaupun kebencian merajalela dimana-mana mengenai lembaga
Pemeriksaan ini, bahkan di negeri-negeri Katolik sendiri, pemeriksaan kembali
dibentuk oleh penguasa-penguasa kepausan, dan kekejaman-kekejaman yang sangat
mengerikan dilakukan di terang hari, di ulangi kembali dilakukan di
penjara-penjara bawah tanah yang dirahasiakan. Di beberapa negera, beribu-ribu
bunga bangsa yang paling murni dan paling agung, yang paling intelek dan
berpendidikan tinggi, pendeta-pendeta yang saleh dan berdedikasi, warga yang
rajin dan patriotik, sarjana-sarjana yang brilian, seniman-seniman berbakat,
pekerja-pekerja yang mahir, telah dibunuh atau terpaksa melarikan diri ke
negeri lain.
Beginilah
cara-cara yang dilakukan oleh Roma untuk memadamkan terang Pembaharuan itu,
menarik Alkitab dari tangan orang-orang, mengembalikan kebodohan dan
ketakhyulan Zaman Kegelapan. Tetapi dengan berkat-berkat Allah dan dengan kerja
keras orang-orang yang mulia, yang telah dibangkitkan oleh Allah untuk
menggantikan Luther, Protestantisme tidak bisa digulingkan. Bukan kepada
persenjataan para pangeran ia berhutang budi untuk kekuatannya. Negeri yang
paling kecil, bangsa yang paling sederhana dan paling lemah kekuatannya,
menjadi benteng Pembaharuan. Kota Geneva yang kecil itulah, di tengah-tengah
musuh-musuhnya yang perkasa, yang merencanakan kehancurannya; Negeri Belanda
sendiri, yang berpantai pasir di laut sebelah Utara, yang berjuang melawan
tirani Spanyol, kemudian paling besar dan makmur dari antara kerajaan-kerajaan;
Swedia yang suram dan tandus itulah yang memperoleh kemenangan Pembaharuan.
Hampir
selama tiga puluh tahun, Calvin bekerja di Geneva. Mula-mula mendirikan gereja
yang mengikuti moralitas Alkitab, kemudian untuk memajukan Pembaharuan di
seluruh Eropa. Tugasnya sebagai pemimpin masyarakat bukan tanpa kesalahan,
bahkan doktrin-dotrinnya bukan tanpa kesalahan. Tetapi ia adalah suatu alat
yang sangat penting untuk menyebarluaskan kebenaran pada zamannya, untuk
mempertahankan prinsip-prinsip Protestantisme melawan gelombang balik kepausan
yang cepat datangnya, dan untuk memajukan kesederhanaan dan kemurnian hidup di
dalam gereja-gereja yang telah dibaharui, sebagai gantinya kesombongan dan
kebejatan yang berkembang di bawah ajaran-ajaran Roma.
Dari
Geneva, bahan-bahan cetakan keluar menyebarkan ajaran-ajaran yang telah
dibaharui. Sampai sejauh ini, negeri-negeri yang telah mengalami penganiayaan
terus mencari petunjuk, nasihat dan dorongan. Kotanya Calvin menjadi tempat
perlindungan bagi para Pembaharu yang terus diburu diseluruh Eropa bagian
Barat. Para buronan yang melarikan diri dari badai yang mengerikan, yang
berlanjut selama berabad-abad, datang ke Geneva. Dalam keadaan lapar,
luka-luka, kehilangan rumah dan keluarga, mereka disambut dan dipelihara dengan
baik penuh kelemah-lembutan. Mereka mendapat rumah di sini. Mereka memberkati
kota yang telah menerima mereka, dengan kecakapan, ilmu dan kesalehan mereka. Banyak
dari mereka yang telah berlindung di sini kembali ke negeri mereka untuk
melawan kelaliman Roma. John Knox, Pembaharu Skotlandia yang berani, banyak
dari orang-orang Puritan Inggeris, Protestan Negeri Belanda dan Spanyol serta
orang-orang Huguenots Perancis, membawa obor kebenaran dari Geneva untuk
menerangi kegelapan di negeri mereka masing-masing.
Subscribe to:
Posts (Atom)